Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbunuh Masa Lalu

25 Juli 2019   22:22 Diperbarui: 25 Juli 2019   22:24 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini malam Jumat Go, jangan bicara kotor," Fandi mencegat cerocosan Fanggo yang terus saja memaki-maki atasannya. Nyaris semua isi kebun binatang keluar dari mulutnya. Tak ada yang tertinggal kecuali harimau dan kupu-kupu. Fanggo sangat menyukai kedua hewan itu.

"Aahh, perempuan tak laku itu tak pantas mendapatkan hormatku! Dialah biang dari segala kemandekan karirku!" Fanggo masih bersungut-sungut tak karuan. Kesal bukan kepalang. Entah sudah keberapa kalinya Kinasih, nama bosnya yang bujang tua itu tidak menyetujui gagasan dalam proposalnya.

Lelah rasanya harus mengulang dan merevisi proposal yang sudah hampir 1 bulan ini tak jadi-jadi. Perempuan sialan!

Keduanya melanjutkan kongkow di cafe hingga larut malam. Memang sudah menjadi kebiasaan Fandi dan Fanggo nongkrong di cafe itu bila malam Jumat. Entah alasannya apa, tapi itu sudah berlangsung sekian lama.

Dua sahabat itu akan saling curhat. Kebanyakan mengenai pekerjaan masing-masing. Atau tentang para perempuan yang menarik perhatian mereka. Atau rencana-rencana ke depan apa supaya mereka lancar dalam bekerja, cepat dapat jodoh, menikah, punya anak, lalu bahagia. Meski mereka tahu bahwa rencana-rencana tersebut akan sulit terlaksana.

Bagaimana tidak? Kedua-duanya playboy kelas gurame. Sering sekali mempermainkan perempuan. Setelah bosan lalu ditinggalkan. Memang belum sampai kelas kakap yang sampai bercabang sana sini, tapi setidaknya bukan lagi kelas teri yang beraninya cuma dalam teori.

----

Pukul 1 dinihari, kedua sahabat itu akhirnya berpisah. Fandi pulang ke rumahnya di bilangan kota, sedangkan Fanggo kembali ke kosnya di komplek perumahan agak di pinggiran.

Sembari terhuyung-huyung Fanggo mencoba memantapkan langkahnya. Sedari tadi taksi susah dicari. Baik yang online maupun yang konvensional. Entah karena pandangannya terlalu kabur akibat mabuk, atau memang karena semua pengendara sedang tak ada yang standby di sekitarnya.

Fanggo terus berjalan. Kosnya agak jauh tapi kalau harus menunggu taksi atau ojek yang tak tersedia, lebih baik dia berjalan saja. Lagipula kepalanya lumayan pusing. Udara terbuka mungkin bisa sedikit mengurangi kekusutannya.

Pikiran Fanggo yang masih berkutat kepada sosok Kinasih memanas lagi. Huh! Jika semua terus-terusan begini, bisa-bisa aku jadi jongos seumur hidup. Tak akan pernah naik pangkat! Wanita itu mesti diberi pelajaran. Dari seorang lelaki seperti dirinya tentu saja. Pelajaran yang tak akan pernah bisa dilupakan seorang wanita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun