Aku ingat-ingat dulu, kapan hujan terakhir jatuh di kota ini. Kota yang pernah memperkenalkan dirinya sebagai perpustakaan raksasa, tempat kita belajar banyak hal. Terutama tentang cinta, kepedihan, waktu senggang, dan keinginan untuk pulang.
1)
dalam buku-buku tentang cinta, kita merobek-robek halamannya yang bercerita mengenai bahagia. Kita tidak setuju terhadap pendapatnya yang mengatakan cinta adalah semacam pertalian rasa yang tidak berbahaya. Itu omong kosong. Karena yang terjadi sebenarnya adalah,
2)
rasa itu sangat berbahaya. Kita terjebak begitu dalam tanpa sempat melepaskan diri dari kepedihan. Kita tanpa sengaja menumbuhkan duri dalam hutan kaktus yang kita bangun dengan cara menyemai patah hati yang begitu tandus. Lalu kita merajam kesendirian sedalam tulang belakang. Kita goyah. Nyaris roboh dalam gelap yang menarik kita ke arah berlawanan. Seperti,
3)
medan magnet yang menuntun kita mendekat ke bibir jurang padahal ia menjanjikan kenyamanan waktu senggang. Kita menerjuninya secara sukarela. Merasa bahwa jatuh cinta adalah puncak dari segalanya. Kita baru tersadar dengan pikiran nanar saat kita menggapai-gapai pinggiran ngarai dengan kelelahan yang membusai. Seperti seorang samurai yang perkasa, berniat membelah samudera mempergunakan katana, lalu bunuh diri ketika mendapati samuderanya malah membadai tiada henti. Setelah itu,
4)
keinginan untuk pulang mengetuk pintu yang masih setengah terbuka. Kita lantas berkemas-kemas dengan cemas. Masih adakah jalan setelah semuanya sempat terhenti. Di suatu titik dengan kebanyakan koma telah nyaris mati. Kita harus menghidupkannya. Dengan kekuatan asa yang tak boleh lagi tertunda. Hingga kita kembali berjumpa,
di kota yang mengingatkan kita tentang hujan yang jatuh di bulan Juli. Di perpustakaan raksasa tempat kita belajar mengendalikan hati. Saat semuanya tak lagi berujung pada keinginan berharakiri.
Jakarta, 18 Juli 2019