Manakala puisi-puisi menyebut namanya sendiri sebagai perantau yang lupa pulang, pada tempat tinggalnya yang dipenuhi dengan rasa gaduh, pemberontakan, khianat serta rasa jalang. Maka pulangkanlah ia ke haribaan tanah-tanah tak bertuan. Di sana ia akan menguburkan dirinya hingga menemui Tuhan.
Apabila puisi-puisi itu terdampar di tanah-tanah yang di atasnya hanya tumbuh duri dan api, kapan saja bisa melukai dan kehilangan ingatan bagaimana cara mencintai. Maka bakarlah ia hingga hanya tersisa abu. Jangan biarkan ia mengenal apa itu rindu.
Jika puisi-puisi itu mengelilingi dunia hanya untuk mengemas kata-kata belasungkawa atas kematian menyedihkan dari sekian banyak bencana peperangan dan kelaparan. Maka kenyangkanlah ia dengan keindahan purnama. Juga sekutip dongeng menyenangkan dari manusia yang mengasihi sesamanya.
Ketika puisi-puisi itu terlanjur melanglang buana dan menyeret banyak ramalan rasi di belakangnya, kemudian menumbuhkan pepohonan di kepala orang-orang yang berpikir bahwa hutan tak ada gunanya. Maka tenggelamkan ia di lautan terdalam. Ia akan tahu kapan saatnya untuk diam.
Pernah pada suatu masa puisi-puisi menyertai kejeniusan orang-orang yang volume otaknya lebih besar dari yang lainnya, lantas menemukan cara-cara tak biasa untuk mencari-cari bagaimana kebenaran sebelum dan sesudah mati. Maka beri ia ruang untuk merenungi bait demi bait yang merana. Dan membuang bait-bait tak berguna ke selokan yang tak dipelihara oleh kotanya.
Pada hari ini. Saat puisi dirayakan seperti kemenangan para politisi. Maka para penyair seharusnya segera bunuh diri.
Pada hari ini. Saat puisi dilahirkan kembali sebagai bayi yang memandang dunia secara murni. Maka sudah tiba waktunya ia juga kembali dihargai. Sebagai sebuah kebesaran filosofi.
Pekanbaru, 21 Maret 2019