Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Idu Geni

17 Maret 2019   05:40 Diperbarui: 17 Maret 2019   05:41 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab XIV

Tiba tiba ada yang terselip dalam benak
Sebuah tanya yang tak perlu jawab
Pada sosokmu yang memberi nyawa pada hatiku
Menyuruhku diam pada hitungan ke seribu
Saat aku mengeja rinduku yang membatu.
Pada hitungan ke seribu satu,
Kau sampaikan sebuah pesan bergurindam
Untuk simpan rindu ini dalam diam
Ada saatnya nanti untuk lemparkan segunung gumam
Ketika malam tak lagi mengeluhkan dendam.

Bab XV-1

Bantar Muncang-Pesisir Sukabumi.  Panglima Baladewa meneriakkan perintah perintah kepada pasukannya yang sekarang sedang terlibat pertempuran hebat melawan pasukan Lawa Agung pimpinan Raja Iblis Nusakambangan. 

Perang ini bermula di pagi hari.  Pasukan Lawa Agung menyerbu dengan gegap gempita dan membabi buta.  Ribuan orang menyerang benteng Bantar Muncang saat fajar belum juga menyingsing.  Tapi mereka salah perhitungan.  Benteng ini selalu siaga setiap saat.  Tidak pernah lengah sedikitpun. Ini karena Panglima Baladewa selalu menekankan kedisiplinan kepada pasukannya. 

Serbuan dahsyat itu tertahan hanya sampai pintu gerbang benteng yang kokoh.  Perang panah menghiasi pagi.  Pasukan Galuh Pakuan tentu saja jauh diuntungkan dalam perang panah ini.  Posisi mereka jauh di atas sehingga terlindung dengan baik, sementara pasukan penyerang di bawah sangat mudah menjadi sasaran empuk anak panah. 

Raja Iblis Nusakambangan tidak kehilangan akal.  Dia menyuruh Nini Cucara untuk menciptakan sihir-sihir menakutkan untuk membuat kengerian pada pasukan Galuh Pakuan.  Nini Cucara tidak bisa melakukan sihir seperti tokoh tokoh sihir Blambangan yang bisa menciptakan pasukan orang mati.  Sehingga yang dilakukannya adalah membuat sihir kabut.  Seluruh wilayah benteng dan sekitarnya mendadak diselimuti oleh kabut berwarna hitam pekat.  Anehnya, yang terpengaruh terhadap kabut sihir itu hanya pasukan Galuh Pakuan.  Pandangan mereka tertutupi kabut sepenuhnya sehingga serangan-serangan menjadi ngawur dan tidak tepat sasaran. 

Pasukan Lawa Agung berada di atas angin.  Sekarang mereka agak leluasa menyerang dengan menggunakan panah-panah yang melesat mengarah kepada pasukan Galuh Pakuan yang kebingungan di atas maupun dalam benteng.

Bahkan sepasukan pendobrak gerbang perlahan-lahan sudah mendekat sambil membawa kayu bulat besar.  Situasi cukup berbahaya bagi Galuh Pakuan.  Jika gerbang benteng berhasil dihancurkan, pertempuran dahsyat terbuka akan terjadi.  Dan itu tidak dikehendaki oleh Panglima Baladewa.  

Dia tidak mempunyai tokoh tokoh sakti yang sanggup mengimbangi kelihaian para tokoh Lawa Agung.  Dia adalah seorang panglima perang yang cakap.  Namun kemampuan kanuragannya jauh dari mumpuni untuk melawan tokoh sekelas Raja Iblis Nusakambangan. 

Panglima Baladewa mengeluh dalam hati.  Dia harus mengirimkan utusan ke Galuh Pakuan untuk mendapatkan bantuan.  Tapi bagaimana caranya? Sedangkan benteng ini dikepung temu gelang oleh pasukan Lawa Agung?  Tidak ada orang di benteng ini yang punya kemampuan cukup tinggi untuk menyelinap keluar tanpa ketahuan.  Seandainya masih ada dua gadis itu?  Pikir Panglima Baladewa nelangsa.

Panglima parobaya yang gagah ini masih berpikir keras saat didengarnya sorak sorai dari arah kumpulan pasukan Galuh Pakuan di atas benteng. Panglima Baladewa berlari cepat ke atas di pos intai.  Nampak pasukan Lawa Agung di bawah kocar kacir tidak karuan.  Pasukan itu diserbu oleh segerombolan makhluk-makhluk aneh yang mengerikan.  Pasukan aneh itu terdiri dari bermacam-macam rupa makhluk gaib.  Genderuwo, Banaspati, Kuntilanak, dan banyak lagi.

Raja Iblis Nusakambangan berpaling kepada Nini Cucara.  Memberikan isyarat agar nenek sihir itu melakukan sesuatu.  Jika tidak, pasukan akan semakin berantakan.  Pasukan gaib itu menyerang dan membunuh secara sungguhan. 

Nini Cucara dengan wajah sedikit memucat karena mengenal sihir itu, merapal mantra-mantra.  Sihir laut selatan sifatnya berbeda dengan sihir Jawa daratan.  Angin tiba-tiba berhenti berhembus. Kabut yang tadinya mencengkeram benteng berangsur bergeser ke arah tempat pertempuran antara pasukan Lawa Agung dan pasukan gaib.

Kabut itu berubah penampakannya.  Jika tadi berwarna hitam gelap, sekarang berwarna putih terang dan menyilaukan.  Kabut ini sanggup memusnahkan pasukan gaib atau jadi-jadian jika sampai tersentuh. 

Namun rupanya sang pengundang pasukan gaib tidak tinggal diam.  Sehamparan kabut yang serupa namun berpenampakan lebih gelap, perlahan lahan muncul di antara para pasukan gaib yang masih membunuhi pasukan Lawa Agung.  Kabut yang diciptakan Nini Cucara tertahan oleh kabut gelap yang baru datang.  Ajaib! Seperti terjadi sebuah pertempuran antara dua kabut itu.  Saling desak dan saling dorong.  Bahkan kabut gelap mendorong kabut menyilaukan sampai keluar dari gelanggang pertempuran. 

Ini tanda bahwa Nini Cucara kalah tangguh dibandingkan lawan.  Pasukan gaib itu masih ada dan leluasa menggempur pasukan Lawa Agung.  Raja Iblis Nusakambangan menjadi geram bukan kepalang.  Dia sendiri juga ahli sihir.  Tapi tingkatnya belumlah setinggi Nini Cucara.  Dia juga tidak mengetahui bagaimana cara memusnahkan pasukan gaib itu.  Raja Iblis tinggi besar itu meneriakkan raungan panjang dan menerjunkan diri menyerang pasukan gaib musuh.  Diikuti oleh Lima Kobra Benggala dan Tiga Hulubalang. 

Pasukan gaib itu teralihkan perhatiannya.  Mereka langsung saja mengepung para tokoh Lawa Agung dan menyerang dengan dahsyat.  Jumlah pasukan gaib itu ratusan.  Tidak semuanya menyerbu para tokoh Lawa Agung.  Yang lain tetap menyerang habis habisan pasukan Lawa Agung.

Pasukan panah Galuh Pakuan tidak tinggal diam. Panglima Baladewa memerintahkan pasukan panah agar menghujani pasukan Lawa Agung dengan anak panah.  Kali ini dengan anak panah berapi.  Kontan saja ribuan pasukan Lawa Agung yang sebelumnya di atas angin, menjadi kocar kacir.  Diserbu dari depan dan belakang dengan hebatnya.

Jika sampai sore nanti keadaan tetap begini, ribuan pasukan Lawa Agung ini dipastikan bisa hancur.  Tapi rupanya peruntungan Lawa Agung belum musnah.  Di saat matahari mulai  bergeser menjauhi sisi timur bumi, terdengar sorak sorai lain.  Bala bantuan dari Pulau Kabut datang.  Pasukannya tidak sebanyak pasukan yang pertama, namun dipimpin langsung oleh Panglima Kelelawar dan lelaki tua yang cara berjalannya melayang di atas tanah. 

Lelaki itu sebenarnya adalah Panglima Kedua Kerajaan Gaib Laut Selatan, bernama Amranutta.  Panglima yang menjadi andalan dari Ratu Laut Selatan.  Kemampuannya masih di atas Raja Iblis Nusakambangan.  Bahkan bisa dikatakan setara dengan Panglima Kelelawar sendiri.

Panglima Amranutta mengebutkan kedua lengan bajunya ke atas.  Pasukan gaib yang tadinya berlomba-lomba membunuhi orang, mendadak berhenti. Tubuh-tubuh mereka kejang mematung.  Serangan mereka terhenti.  Pasukan Lawa Agung dengan leluasa menghantam pasukan gaib yang hanya diam tanpa bisa membalas serangan. 

Panglima Amranutta tersenyum dingin.  Namun senyumnya tiba-tiba lenyap seketika.  Pasukan gaib itu kembali bergerak dan menyerang dengan lebih dahsyat.  Karuan saja, pasukan Lawa Agung menjadi kalang kabut kembali.

Panglima Amranutta mencari-cari dengan sudut matanya.  Siapa gerangan tokoh di balik pasukan gaib ini.  Matanya terbentur pada seorang gadis muda di kejauhan yang sedang menggerak-gerakkan tangannya. 

Panglima Kelelawar juga mengikuti arah pandangan Panglima Amranutta.  Huh! Gadis murid Si Bungkuk Misteri itu lagi! 

Dewi Mulia Ratri mengerahkan kemampuan sihir yang dipelajarinya dari Kitab Ranu Kumbolo.  Tadi dia bertarung dengan Nini Cucara yang mencoba mengganggu pasukan gaib yang dibangkitkannya untuk mengacau pasukan penyerang Lawa Agung.  Setelah berhasil menanggulangi serangan Nini Cucara, ada serangan sihir yang lebih dahsyat lagi dari orang tua yang cara berjalannya sangat aneh itu di sana.  Diapun berhasil juga mementahkan sihir orang itu.  Namun dia menyadari bahwa ilmu sihir orang kedua ini lebih dahsyat daripada Nini Cucara. 

Gadis cantik ini melirik Bimala Calya di sebelahnya yang berjaga-jaga dan bersiap sedia terhadap segala serangan sementara dia sedang merapal mantra dan ajian Ranu Kumbolo.  Dewi Mulia Ratri hanya ingin melihat bagaimana sikap Bimala Calya karena kali ini harus berlawanan langsung dengan ayah angkatnya.  

Dan sikapnya menimbulkan rasa kagum Dewi Mulia Ratri.  Bimala Calya rupanya sudah punya ketetapan hati yang tinggi untuk melawan ayah angkatnya.  Dewi Mulia Ratri tidak tahu bahwa sikap ini muncul lama sebelum dia bertemu dengannya.  Sikap ini timbul ketika Bimala Calya melakukan perjalanan panjang bersama Arya Dahana.

Pertempuran berjalan semakin sengit.  Hujan anak panah tak henti-hentinya mengarah kepada pasukan Lawa Agung yang juga harus mempertahankan diri dari serangan pasukan gaib yang dibangkitkan oleh Dewi Mulia Ratri. 

"Amranutta, aku akan merubuhkan biang pasukan gaib ini.  Kakang seranglah gadis di sebelahnya.  Rebut alat tiup pusakaku yang ada padanya."

Demikian perintah singkat Panglima Kelelawar kepada Panglima Amranutta.

Yang diperintah mengangguk mengiyakan.  Tubuhnya melayang menuju Bimala Calya.

Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya melihat dua sosok tokoh tokoh tertinggi Lawa Agung mendekati  mereka dengan cepat.  Keduanya segera bersiaga. Panglima Kelelawar dan lelaki tua aneh itu mempunyai kemampuan yang sangat tinggi.  Mereka tidak boleh main-main dan harus selalu waspada. 

Benar saja.  Begitu tiba di hadapan mereka, Panglima Kelelawar langsung saja menyerang hebat Dewi Mulia Ratri, sementara Panglima Amranutta langsung menerjang Bimala Calya.

Kedua gadis cantik itu terkaget kaget melihat betapa hebatnya serangan kedua tokoh Lawa Agung itu.  Dewi Mulia Ratri tidak mau berlama-lama untuk segera memainkan jurus jurus dari pukulan Gempa Pralaya.  Bimala Calya juga mengambil keputusan yang sama.  Jurus-jurus dari pukulan Pena Menggores Awan dikerahkannya untuk menghadapi tokoh tua yang belum dikenalnya ini.

Terjadilah pertempuran sengit di sudut luar benteng Bantar Muncang antara dua tokoh kawakan melawan dua gadis muda.  Panglima Kelelawar mempunyai kemampuan luar biasa dalam kanuragan.  Selain sihir yang mumpuni juga tentunya.  Panglima ini juga menguasai ilmu pukulan dari Lima Unsur Bumi yaitu ilmu pukulan Bayangan Matahari yang merupakan intisari dari api.  Bertemu dan bertanding dengan Dewi Mulia Ratri yang menguasai ilmu unsur bumi lainnya yaitu tanah dalam ilmu pukulan Gempa Pralaya. 

Dewi Mulia Ratri hanya kalah dalam hal pengalaman dan kekuatan tenaga kanuragan, namun unggul dalam penguasaan ilmu sihir.  Kitab Ranu Kumbolo adalah kitab ajaib yang luar biasa.  Bisa dianggap bahwa kitab itu adalah sumber dari segala sumber ilmu sihir. Pertandingan keduanya sangat menegangkan.  Dewi Mulia Ratri memang mulai terdesak tapi masih bisa bertahan dengan sangat baik. 

Di sisi lain, Bimala Calya sangat kerepotan melawan Panglima Amranutta.  Panglima Kedua Kerajaan Laut Selatan ini masih terlalu tangguh bagi gadis yang baru-baru ini saja memperdalam ilmu kanuragan dari Pendekar Pena Menawan.  Apalagi ilmu-ilmu yang dipunyai oleh Panglima Amranutta adalah ilmu dengan gerakan aneh dan langka.  Ilmu yang bersumber dari Istana Laut Selatan adalah ilmu yang dihawai oleh sihir-sihir aneh.  Terang saja gadis ini sangat kewalahan dan mulai terdesak hebat. 

Saat genting bagi Bimala Calya terselamatkan dengan kedatangan sekelebat bayangan berbaju putih yang begitu datang langsung saja membantunya menyerang Panglima Amranutta.  Bimala Calya memekik kecil dengan senang melihat Ardi Brata ada di sampingnya bersama-sama menahan serangan Panglima yang sangat tangguh ini.

Kekuatan kedua muda mudi ini setelah digabungkan sedikit bisa mengimbangi kelihaian Panglima Amranutta.  Tapi tetap saja.  Orang ketiga tertinggi setelah Sang Ratu dan Panglima Pertama di kerajaan gaib Laut Selatan ini masih lebih tangguh dari pasangan muda mudi yang sekarang berusaha bertahan sekuatnya menahan serangan.

Pertempuran antara pasukan Lawa Agung melawan pasukan gaib yang dibangkitkan Dewi Mulia Ratri juga masih berlangsung seru.  Meskipun kalah jumlah, namun pasukan gaib yang tidak kenal takut karena memang tidak punya perasaan itu, bertempur dengan sengit melawan pasukan Lawa Agung yang berjumlah ribuan.  Ribuan lainnya menahan serangan pasukan Galuh Pakuan sekaligus mencoba membangun serangan dengan cara berusaha membobol gerbang benteng yang sangat kokoh menggunakan kayu bulat besar.

Raja Iblis Nusakambangan bersama dengan Lima Kobra Benggala dan para hulubalang juga masih bertempur melawan puluhan pasukan gaib yang ternyata sangat tangguh.  Pasukan ini tak kenal rasa sakit.  Meski anggota badan fana mereka terkena pukulan, tendangan atau bahkan terlepas, mereka terus saja merangsek maju tak kenal ampun.

Sebentar lagi petang akan datang. Bumi mulai disirami dengan cahaya keemasan matahari yang sudah terpojok di ujung langit.  Pertempuran mau tak mau akan dihentikan jika malam benar-benar telah tiba.  Terlalu beresiko bagi ribuan orang untuk saling bertarung di kegelapan.  Cahaya-cahaya obor terlalu kecil untuk bisa menerangi sebuah pertempuran besar-besaran.

Menyadari hal ini, Dewi Mulia Ratri memberi isyarat tak kentara kepada Bimala Calya dan Ardi Brata yang sedang terdesak hebat oleh serangan serangan Panglima Amranutta.  Isyarat yang bahkan hanya Bimala Calya yang bisa mengetahuinya dengan baik. 

Sambil melompat menghindari serangan, Bimala Calya melemparkan bisikan kepada Ardi Brata mengenai arti isyarat Dewi Mulia Ratri tadi.  Pemuda itu menggangguk tanpa banyak bertanya.  Dirinya sedang sangat disibukkan menghadapi dan menghindari serangan dahsyat panglima yang berilmu tinggi itu.

Dewi Mulia Ratri sendiri sudah sedari tadi kewalahan menahan serangan Panglima Kelelawar.  Keduanya memang sama-sama tidak mengeluarkan ilmu pukulan tertinggi yang mereka punya.  Entah dengan pertimbangan apa, tapi pukulan Bayangan Matahari dan jurus pamungkas Gempa Pralaya sama sekali menampakkan wujud pukulannya sama sekali.

Panglima Kelelawar hilang kesabaran.  Hari semakin gelap.  Dia harus menyudahi perlawanan gadis tangguh ini.  Mendadak tubuh Raja Lawa Agung ini berkilau keperakan.  Pukulan Bayangan Matahari sedang dipersiapkan.  Dewi Mulia Ratri sedikit banyak sudah mendengar bahwa raja yang sakti ini memiliki pukulan hebat Bayangan Matahari.  Sebuah ilmu puncak dari unsur api.

***************
Bersambung Bab XV-2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun