Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tuhan Pun sampai Geleng Kepala

8 Februari 2019   17:45 Diperbarui: 8 Februari 2019   18:22 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oase terakhir, baru ditemukan para pengembara gurun, yang lehernya nyaris terputus, karena nafasnya tinggal hitungan turus.

Palung terakhir, baru diselami oleh para pengelana lautan, yang paru-parunya hampir meledak, menahan derasnya arus zaman.

Sungai terakhir, baru saja menjumpai muara. Setelah sekian lama terlunta-lunta. Di perjalanannya yang dipenuhi lara lapa.

Gunung terakhir, baru saja meledakkan dirinya. Memenuhi langit terakhir, dengan kepingan-kepingan batu dan abu. Juga awan panas terakhir, yang menggulung habis-habisan sisa waktu.

Semua telah berakhir. Setelah satu persatu mati atau beku. Akibat manusia yang kepalanya membatu. Namun pandai berpura-pura gagu. Setelah riuh rendah melakukan perbuatan tak patut itu;

meluaskan padang pasir, melenyapkan lautan, memenggal panjang sungai, menggunduli hutan-hutan, dan memangkas pinggang dan punggung gunung.

Manusia terakhir?

Mereka sedang bersimpuh memohon kepada Tuhannya agar menjadikan semua kembali seperti semula.

Pertama, Tuhan menggeleng-gelengkan kepala.

Setelahnya, Dia tegas menggelengkan kepala.

Untuk apa?

Jakarta, 8 Februari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun