Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tetralogi Air & Api, Idu Geni

9 Januari 2019   20:06 Diperbarui: 9 Januari 2019   20:05 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetralogi Air & Api, Petualangan Cinta Air dan Api (Bag. Terakhir)

Idu geni adalah sebuah sumpah berapi
Mengalir keluar dari hati yang berdarah
Dan jiwa yang terluka
Akibat geram dan dendam yang menyala.
Akan membakar habis  
Padang ilalang, hutan rimba, hingga tujuh samudera
Menjadi serpihan abu yang berserakan
Dan terbawa badai
Sampai batas antara surga dan neraka.

Bab I

Pesanggrahan Bubat.  Arya Dahana masih termangu mangu.  Tak tahu apa yang harus dilakukannya.  Kejadian memilukan di depan matanya ini begitu hebat.  Begitu miris dan tragis.  Ini bukan peperangan terbuka yang adil.  Namun sebuah pembantaian besar besaran. 

Masih terbayang bagaimana amarah Dewi Mulia Ratri menyala seperti api neraka.  Dari sorot mata dan sumpahnya, nampak gadis itu menyimpan dendam yang luar biasa dalamnya.  

Bagaimana tidak?  Rombongan Galuh Pakuan yang datang dengan niat begitu mulia.  Menyatukan sebuah tali menjadi ikatan perjodohan agar tidak terjadi perang yang pasti akan menyengsarakan rakyat jelata, malah mendapatkan balasan malapetaka sedahsyat ini.

Pemuda ini mengangkat mukanya.  Lapangan Bubat masih menyisakan kengerian yang sama.  Mayat bertumpuk tumpuk bergelimang genangan darah.  Senjata senjata yang patah berserakan seperti jerami.  Pohon pohon yang bertumbangan dihantam petir dan badai membuat lapangan itu porak poranda.  Pendopo yang sebelumnya berdiri gagah dan megah, kini tinggal puing puing berserakan.

Orang orang Sayap Sima masih berdiri di ujung lapangan.  Memperhatikan dirinya yang tinggal seorang diri.  Ki Gularma sudah menghilang pergi begitu Dewi Mulia Ratri tadi pergi.  

Dia lah sisa satu satunya orang di Lapangan Bubat selain orang orang Majapahit.  Arya Dahana tidak memperdulikan itu.  Dia malah melangkah ke tengah lapangan sambil mengambil sebuah tombak yang tergeletak, lalu mulai menggali kuburan.

Madaharsa hendak melangkah maju.  Namun Ki Tunggal Jiwo mengangkat tangannya mencegah.  Membuatnya menghentikan niat untuk menyerang pemuda yang sedang sibuk menggali itu.  Tokoh yang telah membunuh Raja Galuh Pakuan ini berbisik kepada Ki Tunggal Jiwo.

"Ki, apakah kau sadar bahwa musuh yang tersisa itu adalah Arya Dahana?  Anak dari Arya Prabu? Orang yang menyebabkan putri tunggalmu tewas di puncak Merapi?...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun