Apakah kau masih ingin membicarakan hujan? Â Sedangkan kemarau sungguh sulit kita halau? Apakah tidak lebih nyata jika berbincang tentang malam. Dalam kegelapan, kita mudah menemukan bulan.
Bulan di hati kita pernah menyabit. Â Teriris sedikit di kaki langit. Â Kemudian bertiwikrama dalam bentuk purnama. Â Menerangi pencarian kita terhadap cinta.
Tak berlebihan kiranya saat kita duduk di beranda. Â Segera merapikan sulur-sulur bunga yang menutupi pandangan mata. Â Terhadap purnama yang tergelincir di pucuk cemara. Â Lupa bagaimana caranya menuju pagi buta. Â Terantuk bubungan. Â Di mana bukti patah hati biasanya disimpan.
Kita sudah berada di antara malam, hujan dan bulan purnama. Â Entah pada hitungan ke berapa. Â Mungkin pertama kali, karena kita seolah baru jatuh hati. Â Atau ke sekian ribu kali, sebab hati kita ternyata terpaut simpul mati.Â
Jadi, bisakah perbincangan ini kita sudahi saja? Â Aku lihat malam sudah mulai dihujani cahaya purnama. Â Kita mesti menyambutnya dengan tata krama. Dia adalah tamu pertama kita semenjak kita dipertemukan olehnya.
Jakarta, 3 September 2018