Sebelum dunia membubarkan dirinya karena terlalu lama diracuni dengki. Â Mari bicara tentang fiksi;Â
Lusinan bahan kimia mengendapi kepala. Â Sehingga banyak perkara lalu hanya menjadi rantai karbon C dan H. Â Tidak sesuai maka putuslah rantainya. Â Atau hilang begitu saja tanpa diberi nama. Â Tidak tercatat. Â Tidak diberi hormat.
Berbicara tentang fiksi bukan cuma sekedar jejak imajinasi yang diuapkan isi kepala karena suntuk dengan keadaan. Â Lalu mengukur seberapa jauh masa depan bisa diperdebatkan. Â Seperti surga itu persisnya dimana. Â Neraka itu seberapa panas apinya.Â
Ini keyakinan. Â Bukan masalah bualan orang-orang yang dipanasi zaman.
Fiksi adalah separuh khayalan. Â Separuhnya lagi ramalan lintang pukang yang mungkin benar. Â Mungkin samar. Â Mungkin juga nanar. Â Mungkin malah lebih banyak berbicara tentang gambar yang pudar.
Menyamakan fiksi dengan catatan apapun tidaklah pada tempatnya. Â Seperti meletakkan kopi di panci sementara gulai kikil dipanaskan dalam sebuah cangkir kecil. Â Tidak elok rupa dan rasanya. Â Tak ubahnya memberi gula pada perasan buah maja.
Biarlah fiksi mencari jalannya sendiri. Â Menuju entah bagi orang-orang yang berpikir fiksi adalah barang mentah. Â Menuju suatu tempat ketika orang-orang menikmati sebagai kesegaran buah leci.
Jakarta, 15 April 2018