Di rantau kau membangun reputasi sebagai jagal kota. Â Kau begitu ditakuti. Â Wajahmu garang. Â Tubuhmu hitam. Â Di sana sini banyak tatoo dan lebam. Â Kau menjadi penguasa terminal. Â Kau berangsur menjadi kaya raya. Â Kau tumpuki kehidupanmu dengan kesenangan dunia. Â Kau lupa orang tuamu masih ada. Â Jauh di kampung sana.
Kau tak peduli bahkan ketika mendengar ayah ibumu tiada. Â Kau tak mau menginjakkan kaki lagi di kampung nelayan yang menurutmu basi. Â Kau bersikukuh untuk menghilangkan masa lalu. Â Kau sungguh-sungguh jemu.
-----
Ada sebuah titik balik yang kau sendiri tak tahu. Â Pikirmu mungkin ketika kau berjemur sinar bulan di puncak menara sebuah kelab malam, kau kejatuhan hidayah melaluinya. Â Kau tersadar hingga ke dasar. Â Betapa makarnya kau sedari bayi hingga kini mendekati aki-aki.Â
Setelah mengunjungi makam orangtuamu yang sudah berumput tinggi. Â Menangis setengah hari di sana sambil menyesali kenapa namanya Wengi. Â Kau lalu memutuskan membuang segala hal yang dulunya kau sebut kenikmatan. Â Kau serahkan rumah-rumah besarmu untuk panti asuhan. Â Kau hibahkan kekayaanmu untuk para papa dan duafa. Â Kau tak mau lagi apa-apa.Â
Sambil menjalani kehidupan yang sederhana, kau berusaha beribadah sekuat-kuatnya. Â Kau tak berharap Tuhan mengampunimu. Â Terlalu banyak noktah dari ujung kepala hingga telapak kaki. Â Kau hanya minta jangan lagi diingatkan bahwa kau bernama Wengi. Â Lelaki yang mentahbiskan diri sebagai penghuni kegelapan. Â Kau akhirnya memutuskan dengan bulat hati menjadi seorang pemulung yang tidak biasa.Â
Seorang Wengi, penghuni kegelapan yang akhirnya menjadi pemulung cahaya.
Jakarta, 6 Maret 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI