Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nestapa Sang Guru Desa

28 November 2019   20:04 Diperbarui: 28 November 2019   20:55 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nestapa Sang Guru Desa (Ilustrasi: Detakkaltim.com)

Delapan tahun aku meninggalkan kampung halamanku menuju kota Solo.  Selembar ijazah yang kuperjuangkan barangkali kelak bisa mengubah jalan takdirku

Sesekali aku pulang ke desa. Tak ada perubahan mencolok yang membekas di ingatan. Selama bertahun-tahun desaku nyaris tak ada perkembangan yang berarti. 

Jalan raya desa dulu beraspal, perlahan mengelupas dan makin dibiarkan rusak parah. Rumah-rumah penduduk kebanyakan berdinding kayu dan bambu. Kalau toh ada perkembangan yang modern, barangkali dua tower provider seluler yang menjulang tinggi di dekat stasiun Jambon itu sebagai pembeda.

Tradisi membaca tergusur. Aku jarang melihat orang desa punya kebiasan membaca koran atau buku. Tradisi lisan rupanya telah tergantikan dengan tradisi televisi dan smartphome, melewatkan tahapan membaca dan menulis.

Aku sekolah SMA dan kuliah di Solo. Jika tanpa beasiswa mustahil aku mampu melakoni. 

Pemuda di desaku kebanyakan merantau ke Jakarta atau Surabaya. Remaja laki-laki bekerja sebagai kuli pabrik dan kuli bangunan. Remaja perempuan menjadi pembantu rumah tangga. Sedang para pemuda yang masih di desa enggan bekerja di sawah. Mereka suka bergerombol di perempatan jalan. Tak banyak yang melanjutkan ke jenjang SMA, apalagi kuliah di perguruan tinggi.

Tahun  lalu aku resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan atau S.Pd. Ah, singkatan yang tepat sebenarnya Sarjana Pengangguran Desa. Karena setelah di desa, aku tak punya pekerjaan selain membantu bapak dan  ibuku ke sawah. 

Banyak tetangga yang mencibirku. Kata mereka, buat apa pendidikan tinggi-tinggi kalau juntrungannya hanya bekerja di sawah?

Aku sempat mengajar di SMA Negeri di Solo. Gajiku cukup lumayan. Bahkan aku bisa menyisakannya untuk orang tuaku. Keadaanlah yang sepertinya memaksaku kembali ke desa ini. Bapakku yang sudah tua tak sanggup menggarap sawah. 

Bapakku terkena stroke sehingga tak bisa kemana-mana selain di rumah. Sedang ibuku yang kadang berdagang sayur-sayuran di pasar tak punya waktu luang mengurus ayah dan sawahku. Sebagai anak tunggal, barangkali inilah saatnya aku berbakti kepada orang tua.

Sempat aku ingin buka usaha kuliner, tapi sepertinya sulit. Warga desa tak punya uang berlebih menikmati santapan di luar rumah. Hasil panen yang hanya tiga bulan sekali. Tentu amat disayangkan kalau uang hanya untuk memanjakan perut. Hidup sehari-hari  bisa makan nasi sayur dan tempe itu sudah lebih dari nikmat Tuhan yang harus disyukuri.

Di tengah keinginanku membuka usaha, datang kesempatan yang sebelumnya tak kuduga. Pak Asrofi, kepala bagian TU (Tata Usaha) dari SMP di desaku, membawa kabar dari pak Narwata, Kepala SMP, kalau sekolahnya sedang  membutuhkan pengajar Bahasa Indonesia. Beliau menawariku mengajar di sekolah tersebut. 

Setelah berdiskusi dengan kedua orang tuaku, aku sanggupi tawaran itu. Aku tentu tak punya waktu mengelola sawah, dan akhirnya sawah itu disewakan.

Hari pertama mengajar, aku cukup prihatin melihat kondisi sekolah yang dulu juga tempatku belajar. Keadaannya nyaris tanpa perubahan. Hanya gurunya yang  bertambah tua dan sebagain digantikan guru baru. Sedang guru-guruku dulu seperti Pak Rohani, Pak Rusydi dan Bu Unsi masih tetap mengajar meski usia sepertinya tak bisa disembunyikan. 

Jangan tanya berapa gaji yang didapatkan di sekolah ini. Sekolah swasta mengandalkan kegiatan sehari-harinya dengan SPP murah dari murid yang tak seberapa. Berbeda dengan sekolah swasta di kota yang berbiaya mahal. Wajar bisa mensejahterakan para guru.

Terpenting aku mempunyai kegiatan agarorang tuaku tidak terbebani omongan tetangga. Aku dianggap pengangguran.

"Pak Anwar, bisa mengoperasikan komputer?" tanya Pak Narwata saat aku berada di ruang guru.
"Sedikit-sedikit bisa pak?"
"Jangan sedikit-sedikit dong. Jadi pemuda itu harus tegas, bisa diandalkan. Kalau bisa bilang bisa, kalau tidak ya bilang tidak. Pak Anwar bersedia tidak jika merangkap ngajar TIK? Pak Luqman guru yang terdahulu keluar. Sekolah kesulitan mencari pengganti. Gimana pak?"
"Insyaallah, bersedia pak."

Sejak saat itu aku merangkap mengajar Teknologi Informasi dan Komunikasi. Setiap Senin hingga Rabu aku mengajar bahasa Indonesia. Sedang Kamis hingga Sabtu aku mengajar TIK. 

Sekolah ini belum ada fasilitas internet, aku mengajukan kepada pihak sekolah menyediakan perangkat internet. Sekolah menyetujuinya.

Antusias para siswa membuat aku berpikir ulang. Kalau pelajaran internet hanya ada dalam ekstrakurikuler tentu kurang bagi siswa dalam memahami internet dan mempraktekkannya. Aku membuka warnet di dekat sekolah dengan menyewa lahan milik salah satu warga.

Usaha warnetku lumayan berjalan. Dua pemuda desa kulatih mengoperasikan komputer dan internet. Warnetku tak pernah sepi. Warnetku buka dari jam tujuh pagi hingga jam sepuluh malam. Kalau pagi biasa ke warnet para pemuda desa,. Sedang sore atau malam kebanyakan anak-anak sekolah. 

Usaha warnet sudah berjalan baik, tapi  justru menimbulkan masalah baru. Aku didatangi kang Rosyid, takmir Masjid Al Hijrah. Ia memprotesku. Kata dia, sejak ada warnet anak-anak jarang mengaji di masjid. Mereka lebih senang berselancar di dunia maya dan game online di warnet. Rosyid menghimbau agar warnetku tutup saat Magrib dan kembali buka setelah Isya.

Di hari lain, pak Marmin, Guru BK (Bimbingan Konseling) menemuiku di kantor SMP. Ia mengeluhkan ulah anak-anak SMP  yang saat istirahat ketahuan menonton film porno di HP. 

Siswa itu ditanya darimana film itu didapat? ternyata mereka mengunduh film dari warnetku. Kenapa hal ini tak kupikirkan, kalau hal-hal negatif mereka lakukan ketika memakai internet.

 Aku mengontak Aliko, temenku lulusan jurusan Ilmu Komputer di Solo. Ia menyarankan aku memasang software untuk memblokir situs porno.

Lain hari aku mendengar kasak-kusuk warga. Mereka mengeluh, anak mereka saat libur tak mau diajak ke sawah, dan lebih memilih ke warnet. 

Warga mengadu kepada pak RT agar warnetku ditutup. Aku bersikukuh tak mau menutup usahaku.

*****

Rapat Desa digelar. Aku menjelma pesakitan, seperti tersangka korupsi yang disidang di meja hijau. Tapi sayangnya aku tak mempunyai pengacara yang bisa membelaku. 

Rapat  bertempat di Balai Desa dihadiri Kepala Desa, Ketua RT, perwakilan warga, Kepala SMP dan beberapa Guru.

"Saya memohon kepada Pak Kades agar menutup warnet milik Anwar. Atas laporan warga, warnet itu membuat pemuda-pemuda dan anak sekolah jadi malas bekerja membantu orang tua. Anak-anak  tak lagi punya waktu belajar malam. Mereka lebih memilih main ke warnet," kata pak RT memojokkanku.

"Betul itu, Pak," teriak Yu Warti. "Wawan, anak saya, sekarang susah diatur. Wawan kalau pas liburan tak mau diajak ke sawah. Rupanya internet itu lebih dipatuhinya ketimbang perintah bapak ibunya."

 Aku memberanikan membela diri. Aku tak ingin disalahkan. 

"Begini Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat. Sebelumnya saya minta maaf, kalau ternyata anak-anak  menjadi seperti itu. Saya membuka warnet itu dengan tujuan agar anak-anak desa terbuka pikirannya. Bisa memahami perkembangan teknologi dan dunia."

Aku memberi jeda agar hadirin mencerna alasanku.

"Saya ingin anak-anak desa membuka cakrawala baru. Tidak kalah dengan mereka yang ada di kota. Keahlian ini akan membantu jika mereka sekolah dan kuliah nanti. Juga ketika mereka ingin bekerja di kota atau setidaknya bagi kehidupannya saat ini."

"Saya rasa pendapat pak Anwar itu ada benarnya," pak Narwata membelaku. 

"Keahlian komputer dan internet itu sangat penting bagi pemuda dan anak sekolah. Menurut saya, warnet itu tak perlu ditutup, cuma ya harus dibatasi jam buka warnetnya," kata Kepala Sekolahku itu

Kepala Desa angkat bicara. "Usul pak Nar menarik juga. Saya sebagai Kepala Desa tak punya hak melarang orang yang membuka usaha mencari nafkah. Lagi pula Pak Anwar juga ingin anak-anak kita maju. Begini saja jam buka warnet dikurangi saja, gimana bapak-bapak dan ibu-ibu?"tawar pak Kades.

Semua yang hadir menyetujui hasil rapat.Warnet buka seperti dengan keputusan rapat. Meski pendapatanku sedikit turun tapi aku tetap bersyukur usahaku tidak jadi ditutup.

****

Aku mengajukan proposal ke sekolah tentang "Workshop Internet Sehat dan Aktualisasi Internet untuk Kemajuan Desa". Aku mengundang pembicara temanku dari Solo yang juga seorang penulis, Yudhi namanya. Workshop itu dihadiri para pemuda dan anak-anak sekolah.

"Kita harus memanfaatkan teknologi untuk kepentingan yang baik dan bermanfaat. Bisa saja kita mengoptimalkan potensi menulis lalu mengirimkan karya baik puisi, cerpen atau opini  ke koran atau majalah," kata Yudhi dalam acara.

"Mengirim karya juga tak harus ke kantor koran di kota atau lewat pos. Kita bisa mengirimnya lewat email. Dengan duduk manis tinggal klik lalu kita bisa mendapatkan uang kalau tulisan kita dimuat," jelas Yudhi.

Benar juga perkatan Yudhi. Aku yang sebagai guru bahasa Indonesia selama ini memang memberi tugas kepada muridku membuat puisi dan cerpen. Karya yang terbaik hanya kupasang di mading sekolah.

Aku lalu meminta sekolah berlangganan koran. Aku teringat ada rubrik puisi dan cerpen yang menerima karya remaja usia sekolah.
Aku mendampingi langsung murid-muridku dalam proses kreatif menulis dan pengiriman naskah. Di bulan pertama dari sepuluh karya yang kukirimkan ke berbagai media massa, tak ada satupun yang mampu menembus media. 

Murid-muridku nampak putus asa. Aku menyuruh mereka browsing di internet,mencari lomba menulis atau mencari tips bagaimana cara agar tulisan dimuat media.

Di sebuah pelajaran aku kembali menyemangati mereka.

"Menjadi seorang penulis, cerpenis itu memang tidak mudah. Kita jangan menunggu dengan berdiam diri tanpa menulis kembali. Kita menunggu sambil berkarya, jadi ketika kita tahu tulisan kita tidak dimuat kita masih bisa mengirim karya yang lain lalu menunggu, diselingi menulis. Begitu seterusnya."

Bulan berikutnya sekolah gempar ketika puisi karya muridku bernama Huda dimuat di koran terbesar di Jawa Tengah. Orangtuanya pun nampak bangga ketika tahu anaknya bisa masuk koran.

Aku kembali dibuat kaget ketika Ningsih, mendapat undangan pengambilan hadiah berupa uang jutaan rupiah dan sebuah piala. Cerpennya memenangkan Lomba Cerpen Remaja Indonesia yang diselenggarakan sebuah lembaga di Jakarta. 

Aku tak menyangka. Tentu aku sebagai gurunya sangat bangga. Aku mendampinginya mengambil hadiah di Jakarta. Saat kembali ke desa, aku menanyainya dari mana ia mendapat info lomba itu.

"Kan ada internet," ucapnya menirukan sebuah iklan yang pernah tayang di tv. 

Ia nampak tersenyum bangga dengan apa yang diraihnya.

 Ya, internet. Semua bisa menjadi mungkin. Aku memandangi muridku itu dengan senyum bangga. Teramat bangga. Tersisa harapan selalu memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarku dengan segala kemampuan yang kupunya. Meski itu kecil.

Antara Solo-Grobogan, 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun