Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nestapa Sang Guru Desa

28 November 2019   20:04 Diperbarui: 28 November 2019   20:55 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nestapa Sang Guru Desa (Ilustrasi: Detakkaltim.com)

Sempat aku ingin buka usaha kuliner, tapi sepertinya sulit. Warga desa tak punya uang berlebih menikmati santapan di luar rumah. Hasil panen yang hanya tiga bulan sekali. Tentu amat disayangkan kalau uang hanya untuk memanjakan perut. Hidup sehari-hari  bisa makan nasi sayur dan tempe itu sudah lebih dari nikmat Tuhan yang harus disyukuri.

Di tengah keinginanku membuka usaha, datang kesempatan yang sebelumnya tak kuduga. Pak Asrofi, kepala bagian TU (Tata Usaha) dari SMP di desaku, membawa kabar dari pak Narwata, Kepala SMP, kalau sekolahnya sedang  membutuhkan pengajar Bahasa Indonesia. Beliau menawariku mengajar di sekolah tersebut. 

Setelah berdiskusi dengan kedua orang tuaku, aku sanggupi tawaran itu. Aku tentu tak punya waktu mengelola sawah, dan akhirnya sawah itu disewakan.

Hari pertama mengajar, aku cukup prihatin melihat kondisi sekolah yang dulu juga tempatku belajar. Keadaannya nyaris tanpa perubahan. Hanya gurunya yang  bertambah tua dan sebagain digantikan guru baru. Sedang guru-guruku dulu seperti Pak Rohani, Pak Rusydi dan Bu Unsi masih tetap mengajar meski usia sepertinya tak bisa disembunyikan. 

Jangan tanya berapa gaji yang didapatkan di sekolah ini. Sekolah swasta mengandalkan kegiatan sehari-harinya dengan SPP murah dari murid yang tak seberapa. Berbeda dengan sekolah swasta di kota yang berbiaya mahal. Wajar bisa mensejahterakan para guru.

Terpenting aku mempunyai kegiatan agarorang tuaku tidak terbebani omongan tetangga. Aku dianggap pengangguran.

"Pak Anwar, bisa mengoperasikan komputer?" tanya Pak Narwata saat aku berada di ruang guru.
"Sedikit-sedikit bisa pak?"
"Jangan sedikit-sedikit dong. Jadi pemuda itu harus tegas, bisa diandalkan. Kalau bisa bilang bisa, kalau tidak ya bilang tidak. Pak Anwar bersedia tidak jika merangkap ngajar TIK? Pak Luqman guru yang terdahulu keluar. Sekolah kesulitan mencari pengganti. Gimana pak?"
"Insyaallah, bersedia pak."

Sejak saat itu aku merangkap mengajar Teknologi Informasi dan Komunikasi. Setiap Senin hingga Rabu aku mengajar bahasa Indonesia. Sedang Kamis hingga Sabtu aku mengajar TIK. 

Sekolah ini belum ada fasilitas internet, aku mengajukan kepada pihak sekolah menyediakan perangkat internet. Sekolah menyetujuinya.

Antusias para siswa membuat aku berpikir ulang. Kalau pelajaran internet hanya ada dalam ekstrakurikuler tentu kurang bagi siswa dalam memahami internet dan mempraktekkannya. Aku membuka warnet di dekat sekolah dengan menyewa lahan milik salah satu warga.

Usaha warnetku lumayan berjalan. Dua pemuda desa kulatih mengoperasikan komputer dan internet. Warnetku tak pernah sepi. Warnetku buka dari jam tujuh pagi hingga jam sepuluh malam. Kalau pagi biasa ke warnet para pemuda desa,. Sedang sore atau malam kebanyakan anak-anak sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun