Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Sosial, Membunuh Kerukunan Menghidupkan Pertikaian atau Sebaliknya?

15 September 2016   00:00 Diperbarui: 15 September 2016   01:15 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bertahun-tahun yang lalu, kita masih begitu nyaman tanpa terlibat apapun di media sosial. Kita belum mengenal Facebook. Kita tidak tau apa itu Twitter, Youtube. Lalu Instagram? Apa pula itu. Ngeblog? Jangan mimpi bro!

Era masa kini lain, bung!

Kita seakan hilang jati diri kalau tidak eksis di dunia media sosial. Tiap hari update status menjadi sebuah keniscayaan yang tak dapat kita bantah. Menjadi kebutuhan yang tidak dapat kita tunda. Maka jangan heran kalau hari ini kita jumpai banyak sekali pribadi yang punya semboyan “makan boleh terlambat, update status tidak boleh terlambat.” Dunia media sosial seakan menjadi ‘jembatan penghubung’ antara mimpi dan realita. Apa yang tempo hari hanya bisa hadir dalam mimpi dan impian, kini menjadi nyata senyata-nyatanya lewat media sosial. Anda dapat menunjukkan siapa Anda, kemampuan apa yang Anda miliki, tujuan apa yang hendak Anda capai – kepada dunia di luar sana, hanya dalam hitungan detik. Anda bisa menjadi terkenal dalam sentuhan jari tangan Anda pada tombol publish. Diri Anda disanjung setinggi langit, pun bisa juga dibully habis-habisan. Semuanya tergantung Anda. Tampilan seperti apa. Sikap seperti apa. Keinginan seperti apa. Media sosial hanya mensyaratkan satu hal: Koneksi Internet lancar!

Tidak sampai di situ saja. Era media sosial adalah era dimana semua hal menjadi begitu mudah, namun serempak menjadi amat sulit. Anda menjadi begitu mudah untuk dikenal, tetapi juga akan begitu sulit mencari tempat bersembunyi untuk tidak diinjak-injak dan dihina. Apapun kelakuan Anda, ketika itu sudah terpublish lewat media sosial, maka bersiaplah untuk dinilai, disorot, dan lalu kemudian diadili.

Media sosial rupanya telah sedemikian rupa membuat batasan antara apa yang bersifat private dan yang umum menjadi amat kabur. Kadang persoalan di dapur sendiri bisa menjadi konsumsi orang banyak. Lalu orang banyak itu ramai-ramai mengadili dan melempar opini masing-masing ke apa yang terbaca di status kita. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap apa yang Anda tulis. Status yang kita sampaikan, secepat kilat menyambar akan langsung saja dikerubuti bagaikan semut mengerubuti gula. Ini realitas yang tak mungkin kita abaikan.

Dunia kita memang seakan sudah tanpa batas lagi. Dan, kita cenderung menerimanya dengan tangan dan hati terbuka. Bahkan dalam ruang etika dan norma manusia beradab, kita sudah tak sanggup lagi menolak apa yang tersaji di hadapan mata kita. Seakan kita tidak lagi punya pilihan lain selain ‘menikmati’ sampai tuntas pertunjukan kebaikan serta keburukan apapun yang senantiasa menghiasi layar laptop atau smartphone kita. Orang yang bermedia sosial adalah orang-orang yang siap menerima kenyataan, baik itu manis atau pun pahit.

Pada era ‘dark ages’, katakanlah sebelum tahun 1995, setiap orang masih punya keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain dimana saja. Tidak mudah untuk berinteraksi. Anda harus beli tiket untuk ketemu muka dengan seseorang yang berada jauh dari lokasi tempat tinggal Anda. Tapi tidak hari ini. Sekarang Anda bisa ketemu muka dengan siapa saja yang tinggal di benua manapun lewat berbagai macam aplikasi yang menawarkan kemudahan video call atau video chat. Lompatan kuantum dunia komunikasi dan teknologi telah menawarkan ‘sorga’ bagi sebagian penggunanya. Di sisi lain, hal itu telah juga menciptakan ‘neraka’ bagi sebagian yang lain. Banyak yang memanfaatkan berbagai bentuk kecanggihan ini untuk hal-hal yang tidak baik. Penipuan, pemerasan, fitnah, pembunuhan karakter, teror meneror, manipulasi, menghasut dan memprovokasi, serta berbagai macam bentuk kejahatan lainnya terus meningkat seiring perkembangan dan percepatan yang terjadi amat pesat dalam dunia teknologi dan komunikasi.

Peran Media Sosial Dalam Hidup Keagamaan

Sebagai orang yang beragama, Anda boleh bangga bahwa dunia saat ini menawarkan banyak kemudahan bagi Anda supaya terlihat sebagai orang yang beragama dan beriman takwa. Oleh karena kenapa? Oleh karena saat ini ada banyak sekali forum-forum keagamaan online maupun aplikasi-aplikasi tertentu yang dapat Anda ikuti dan temui dengan mudah. Di sana Anda dapat terlibat aktif. Berdiskusi, tanya jawab, bahkan mengkritisi doktrin keagamaan yang menurut Anda kurang pas.

Dengan gadget canggih di tangan, Anda bisa mendownload banyak sekali aplikasi keagamaan, atau apa yang saya sebut sebagai ‘aplikasi relijius’. Ini tentu saja menjadikan Anda akan kelihatan semakin keren dan terlihat sebagai orang beriman hebat. Ada Alkitab online, Alquran online, dan aplikasi-aplikasi ‘tafsir’ lainnya. Ada juga sarana menambah keimanan dan ketakwaan Anda dengan terjun langsung ke beberapa situs rohani. Bagi yang Kristen umpamanya, ada Godtube.com tempat untuk sharing video rohani. Ada christian.com, praize, xianz, hisholyspace, dan masih banyak lagi. Yang muslim umpamanya bisa mampir ke muslimsocial.com, muxlim, naseeb, dan banyak lainnya. Ini adalah sarana Anda beriteraksi dan juga buat tambah wawasan keagamaan Anda – secara online. Tapi tetap Anda sendirilah yang harus membatasi diri, keterlibatan Anda sampai sejauh apa.

Ini luar biasa keren tentunya. Tetapi apakah dengan begitu dapat dikatakan bahwa Anda benar-benar sudah menjadi orang yang beragama, saleh, dan beriman takwa? Belum tentu. Keberagaman dan keimanan kita tidak serta merta dapat dinilai dari aksesoris yang kita kenakan bukan? Seberapa beriman Anda, dan seberapa tinggi Anda menjungjung nilai-nilai keagamaan yang Anda anut itu sebetulnya dapat terlihat dari cara Anda berinteraksi dengan sesama manusia yang sejatinya berbeda agama dengan Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun