Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fanatisme Pemilih dan Keamanan Pilpres 2014

24 Juni 2014   03:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:25 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEMILU adalah pesta demokrasi. Pemilu adalah saat dimana setiap orang yang memiliki hak suara, akan diberikan kesempatan untuk menyuarakan serta menyalurkan hak suaranya itu. Pemilu diibaratkan sebagai sebuah pesta. Yang kemudian membuat kita akan berpikir bahwa oleh karena ini adalah sebuah pesta, maka setiap peserta pesta itu terlibat dalam kemeriahan dan kesenangan bersama-sama. Suasana pesta tak boleh ternodai oleh tindakan kotor apapun. Setelah pesta usai pun, semuanya tetap berada pada kegembiraan yang sama.

Kita berpesta, karena demokrasi menang atas otoriterianisme. Demokrasi menang atas diktatorianisme. Dan, demokrasi menang atas kegelapan serta kekelaman masa lalu. Karena itulah, pemilu (pilpres termasuk di dalamnya) kemudian dianggap sebagai sebuah pesta seluruh rakyat. Sebuah perayaan. Dimana setiap orang bebas memilih siapa yang dia sukai, tanpa ancaman atau intimidasi. Bebas menentukan sikap dan dukungannya. Bebas meyakini apa yang diyakininya. Bebas menyuarakan apa yang dia rasa perlu disuarakan.

Dalam sejarah, mungkin tahun 2014 ini akan menjadi sejarah pemilihan Presiden terpanas, teramai, dan terbesar. Bagaimana tidak, pilpres yang hanya menyisakan dua calon ini nyata-nyata disambut begitu hangat, begitu meriah, dan begitu mengguncang jagat perpolitikan tanah air. Dua-duanya memiliki massa pendukung yang sangat besar. Dua-duanya kini sudah sangat terkenal dan diminati banyak kalangan. Meskipun keduanya memiliki gaya, karakter, dan sikap yang beda jauh, namun kedua-duanya juga sudah menjadi pusat perhatian puluhan bahkan ratusan juta pasang mata.

Apalagi, mulai dari kedai kopi pinggir jalan, sampai ke restoran kelas wahid tiada habis-habisnya keduanya diulas kupas. Pun juga, dari rumah kumuh pinggir kali, sampai hotel berbintang lima, keduanya dikupas ulas. Bisa jadi, tiada hari tanpa membincangkan keduanya, atau setidaknya salah satu dari kedua capres ini. Stasiun TV berlomba-lomba memberitakan. Debat-debat pun mendulang banyak peminat dan pemirsa, dan yang nonton pun tak kalah banyak sama yang nonton Piala Dunia. Ada lagi, fanatisme pendukung ke dua capres ini begitu luar biasa, dan tak berlebihan menyamakan atau bahkan melebihi fanatisme pendukung keseblasan sepak bola di Piala Dunia. Pilpres kali ini memang luar biasa.

Kenapa mereka berdua begitu digandrungi, begitu dikagumi, dan begitu luar biasa menyita perhatian banyak orang? Apakah kini setiap orang sudah sadar betapa pentingnya memilih pemimpin yang benar-benar berjuang untuk mereka? Ataukah kini setiap orang sudah mengerti betul betapa pentingnya memilih Presiden yang tepat? Atau juga, bisa jadi semuanya ini semata hanyalah fanatisme buta orang-orang yang sekedar ‘turun gunung’ mendukung dan ikut meramaikan pesta pemilihan ini? Ataukah pula, banyak ‘orang-orang baik’ yang selama ini golput, mungkin saja akhirnya merelakan diri untuk ‘turun tangan’ terlibat? Entahlah. Satu hal yang pasti, keduanya sudah memberi kontribusi dan dampak besar bagi segenap negeri untuk sejenak meluangkan waktu, tenaga, bahkan uang demi berlangsungnya pesta ini. Saya kurang yakin, kalau capresnya bukan kedua figur ini, Prabowo dan Jokowi, orang banyak akan seantusias dan sebersemangat ini.

Keamanan Hari ‘H’ dan Sesudahnya

Intensitas dan panasnya ‘perjuangan’ kedua kubu ini sudah sangat hebat. Pada tataran tertentu bahkan melebihi akal pikir saya. Kok bisa-bisanya seperti itu? Demikian saya bertanya dalam hati. Imbas yang ditimbulkan juga sudah sangat melebar dan berlangsung secara massive. Bagaimana mungkin pesta yang harusnya berlangsung demokratis dan bersih itu, semakin ke sini semakin diisi oleh banyaknya kampanye hitam, hujat, fitnah, dan makian di sana sini? Ini membuat kita mesti bercermin jelas-jelas. Berkaca diri. Dan bertanya pada diri kita sendiri secara jujur, bila kita ikut terlibat atau membenarkan semua bentuk kampanye hitam yang berlangsung itu. Maka masih layakkah pemilihan ini disebut sebuah pesta demokrasi? Dimana pada kenyataannya ada begitu banyak pendukung fanatik berlomba-lomba menghina, menghujat, dan berusaha menjatuhkan lawan dengan sedemikian rendah dan nistanya.

Oleh karena melihat perkembangan yang terjadi, serta menengok fanatisme dari kedua kubu, tentu yang dikhawatirkan adalah bahwa nantinya akan banyak orang yang tidak sanggup menerima kenyataan. Ya, kenyataan ketika tanggal 9 Juli nanti, capres yang ia dukung dan ia cintai dengan amat sangat itu, akhirnya tidak terpilih. Ini berbahaya, apalagi bila kemudian setelah diumumkan siapa yang terpilih, lantas para pendukung fanatisme kubu yang merasa menang itu mulai mengejek kubu yang kalah. Bisa-bisa terjadi ‘perang’ terbuka. Ini bukan tidak mungkin terjadi. Belajar sedikit tentang psikologi massa, dan psikologi sosial, saya mengerti betul bahwa pihak yang kalah akan merasa dilecehkan, kalau kemudian pihak yang menang dan merasa di atas angin membuat komentar-komentar miring atas kekalahan kubu lawan. Gesekan dan ketersinggungan akan sanagt cepat tersulut. Apalagi kalau konteks ini terjadi dalam skala besar.

Saya berharap, dan sangat berharap, bahwa kedua kubu harus benar-benar bijak, dan bersikap dewasa apapun hasilnya nanti. Sebab dalam pemilihan ini sebetulnya tidak boleh ada istilah yang menang dan yang kalah. Ini bukan lomba. Ini bukan pertandingan. Ini dalah pemilihan calon Presiden, memilih yang terbaik di antara yang baik. Dua-duanya baik, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, nobody is perfect, sehingga yang ada nanti hanyalah yang terpilih dan yang tidak terpilih (istilah ini lebih halus daripada menang dan kalah). Sebab tidak mungkin kita punya dua Presiden bukan? Tarulah dua-duanya sama baiknya, tetap kita harus memilih satu saja. Para timses mungkin sangat memahami hal ini, tapi belum tentu hal yang sama dipahami oleh massa pendukung akar rumput yang fanatiknya sangat berlebihan.

Keadaan yang memanas ini bukan tidak beralasan. Mari kita lihat beberapa contoh sederhana. Pendukung ke dua belah pihak gampang tersulut oleh hal-hal yang muncul ke permukaan, yang seharusnya tidak disikapi secara berlebihan. Isu-isu tidak benar yang berseliweran di media sosial dijadikan ajang saling tusuk dan serang, untung belum secara fisik. Biasanya isu kecil yang tidak benarpun, ketika ditiup oleh orang tidak bertanggungjawab, akan sangat cepat menyebar dan membuat panas banyak pihak, lalu terpancing membalas.

Contoh lainnya. Lihat saja, ketika Wiranto memberi jawab atas beberapa pertanyaan yang ditanyakan ke dirinya. Muncul reaksi sana-sini yang sangat keras. Bahkan ada yang sengaja menantang balik. Ini kalau dibiarkan bisa berbahaya. Belum selesai pemilihan saja sudah begini.

Mayjen (Purn) Saurip Kadi bahkan sampai menyesalkan adanya tanggapan keras dari sejumlah purnawirawan Kopassus TNI AD setelah pernyataan mantan Mantan Pangab Wiranto soal DKP pemberhentian Prabowo Subianto. Menurut Saurip, hal itu sebetulnya tidak perlu terjadi (TribunNews).

Menurut Saurip, tindakan tersebut justru akan sangat merugikan capres Prabowo Subianto. Seharusnya, para purnawirawan itu mengetahui hukum, mana yang salah dan mana yang benar. "Bisa jadi itu upaya menggembosi Pak Prabowo itu sendiri. Karena rakyat itu cerdas. Jangan sekarang mau ancam mengancam sampai mencari-cari. Itu omongan saya percaya tidak berdasar akal sehat, mungkin salah mengerti dan mendengar, dan salah persepsi atas pernyataan Pak Wiranto," kata Saurip Kadi di Jakarta, Minggu (22/6/2014).

Dalam berita sebelumnya, dikatakan bahwa ada puluhan mantan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menunjukkan amarah mereka. Mereka mengatakan, "Kami mendesak Wiranto melepas wing komando Kopassus. Wiranto tak pantas pakai itu. Kalau bicaranya tak memberi contoh, itu (wing) harus dicopot. Dia tak pantas dapatkan wing komando," Itu kata Kolonel (Purn) Ruby kepada wartawan di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/6/2014).

Mantan Komandan Tim Kompi 13 Grup 1 Serang itupun masih berujar, "Kalau dia terus memberikan pernyataan kita akan cari dia. Dimana dia berada, kita akan cari. Kita akan membawanya dan berbicara di media massa. Kalau dia diam kami akan diam." Ia mengatakan sikap yang akan mereka tempuh sebagai peringatan agar Wiranto tidak arogan, dengan memecah belah dan mengadu domba. "Karena kami ini akar rumput, akan panas jika diadu domba seperti ini," sambungnya lagi.

Jadi hal-hal seperti ini semestinya tidak perlu terjadi. Kalau sebelum pemilihan saja sudah saling ancam, apa kemudian nantinya akan saling serang? Mana bisa para mantan tentara bertindak seperti ini. Untung saja TNI netral dalam pilpres.

TNI memang harus benar-benar mengamankan pilpres kali ini. Karena di kedua kubu ini banyak sekali pendukung fanatik. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Fuad Basya, bahwa TNI akan menyiapkan 30 ribu pasukan menjelang pemilihan Presiden. Menurut saya, bukan hanya pada saat menjelang dan juga saat hari ‘H’nya pasukan itu dikerahkanm, tetapi paling tidak seminggu sesudahnya juga harus tetap diamankan.

Beberapa hari yang lalu saya naik taksi di seputaran Rawamangun, kemudian saya ajak sopir taksi itu ngobrol tentang pilpres. Nah, yang dia takutkan katanya justru kalau setelah ketahuan siapa yang terpilih dan yang kalah tidak sepenuhnya menerima kenyataannya tersebut. Bakal rame katanya. Dia bahkan mau ambil libur pas hari pemilihan sampai beberapa hari setelahnya. Tidak mau ambil resiko. Apalagi menurutnya, ada banyak preman yang sudah ikut-ikutan berpolitik.

Mudah-mudahan, pesta demokrasi ini akan tetap berjalan dengan damai, dan secara demokratis. Apapun hasilnya, harus siap kita terima dengan besar hati. Secara jantan kita harus akui, bahwa yang terpilih, sudah dialah yang terbaik menurut mayoritas pemilih. Supaya perumpamaan yang bilang, “Democracy is three wolves and a sheep voting on what's for dinner” (demokrasi katanya adalah ibarat tiga serigala dan seekor domba yang lagi memungut suara untuk memilih apa menu makan malamnya), tidak terjadi pada kita di sini.

Semoga kita menjadi pemilih-pemilih yang bijak. Pemilih yang bijak sebelum hari pemilihan. Bijak pada saat pemilihan. Dan tetap bijak setelah pemilihan. ---Michael Sendow---

I see in the near future a crisis approaching that unnerves me and causes me to tremble for the safety of my country... corporations have been enthroned and an era of corruption in high places will follow (Abraham Lincoln)

#pilpres2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun