[caption caption="Pantai Manado menyambut sunset: ".....Biar lei ngoni mo pele...Biar lei ada tanah goyang...Biar lei ada ombak basar....Kita pe cinta masih tatanang dolong, dan nyanda mo abis-abis. Biar jo orang bacirita konga, biar jo orang sosere akang, biar jo orang pandang enteng.....Maar kita pe cinta nyanda mo abis-abis......" ---Mich--- (Pic Source: indonesiaexpat.com)"][/caption]
Katanya, belajar bahasa apapun pastilah amat berguna, pun mengasyikkan. Katanya kata siapa? Ya, kata banyak orang dan banyak penelitianlah. Belajar bahasa adalah pintu gerbang kesuksesan. Bayangkan saja kalau Anda menguasai 20 bahasa umpamanya, pasti sangat mudah diterima kerja dimana-mana.
Sayangnya, kita susah mencintai ‘ilmu bahasa’ dengan segenap hati, jiwa dan raga. Jangankan menguasai 20 bahasa, dua bahasa saja kayaknya sulit sekali bagi kita untuk menguasainya secara baik. Ada beberapa mungkin yang fasih menguasai 3 atau 4 bahasa sih. Itu amat bagus tentunya. Salut.
Saya menguasai ‘hampir mendekati sempurna’ satu bahasa saja, yaitu bahasa ibu saya, bahasa Manado (MDO). Hanya itu saja. He he he karena sejak lahir saya sudah menggunakannya, meskipun kala itu ucapan-ucapan saya baru berbentuk tangisan saja. Bahasa Indonesia lumayan bagus, bahasa Inggris cukup okay, bahasa isyarat sedikit saja, tetapi penguasaan bahasa Manado masih di atas bahasa-bahasa tadi itu.
Karena itu pulalah, maka kali ini saya kok rasanya pengen banget menulis sedikit tentang bahasa (dialek) yang satu ini. Ada begitu banyak keunikan dan kelucuan di dalamnya yang dapat dieksplore lebih dalam lagi sebetulnya.
Seperti yang sudah pernah saya tuliskan di sini: Bahasa Manado dan Lelucon ternyata terdapat banyak keunikan dan kelucuan pada bahasa MDO tersebut.
Sekarang mari kita lompat sedikit lebih jauh ke depan untuk mengenal beberapa kata penunjuk waktu kejadian berikut ini. “Da”, “Mo”, “Somo”, “So”. Mungkin dalam bahasa Inggris ini dikenal sebagai penunjuk terlaksananya semua ‘tenses’ ya?
Mari kita lanjut perlahan saja supaya tidak terantuk batu. Biasanya ‘da’ dipakai untuk menyatakan sesuatu itu sementara dilakukan atau sementara terjadi. Contoh ‘da sementara makang’ (sementara makan), ‘da tidor’ (sementara tidur), ‘da bacuci’ (sementara nyuci), ‘da bauni film’ (sementara nonton film), dll.
Kalau ‘mo’ itu = akan (future tense). Misalnya, ‘mo makan’, ‘mo tidor’, ‘mo bauni’, ‘mo jalan’, dll. Nah, bagaimana dengan ‘so’? Itu menandakan sesuatu sudah (baru) dilakukan. Contoh, ‘so makan’, ‘so klaar bauni’, ‘so kenyang’, ‘so selesai’, dll. Bagaimana pula dengan kata ‘somo’ (bukan sumo ya), itu padanannya adalah ‘akan segera’. Baru mau dilakukan dengan segera.
Keunikan lainnya adalah dalam dialek Manado terdapatlah kata-kata bahasa Indonesia yang justru artinya sangat berbeda. Misalnya kata ‘sapa’ yang kalau dalam bahasa Indonesia itu adalah kata dasarnya menyapa (tegur sapa), namun kalau di Manado, kata ‘sapa’ itu artinya adalah siapa. Contoh, “Sapa soh dia pe nama” (Siapa sih namanya?). Bisa dijawab dengan "Oh, dia pe nama Ungke, Alo, Kartono," dan lain-lain.
‘Kabur’ dalam bahasa Indonesia adalah melarikan diri, kalau dalam dialek Manado maka ‘kabur’ itu artinya adalah sesuatu yang tidak jelas, samar-samar, buram (blur dalam bahasa Inggris). Kata ‘bisa’ dalam bahasa Indonesia artinya dapat. Kalau di Manado bisa itu artinya racun. Misalnya bisa ular, bisa kalajengking, dll.