Mohon tunggu...
Michael Fernando
Michael Fernando Mohon Tunggu... Siswa

Seorang siswa yang ingin terus berkembang bersama dengan orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Patologi Rasionalitas Dalam Fenomena Fobia, Sandiwara, dan Amnesia Moral Kebangsaan

19 September 2025   21:50 Diperbarui: 19 September 2025   21:50 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://primayahospital.com/kejiwaan/haphephobia/

Sebuah bangsa tengah dihadapkan pada krisis yang lebih dalam dari sekadar persoalan politik atau ekonomi. Ini adalah krisis rasionalitas dan integritas. Permasalahan yang ada telah merasuk hingga ke cara pandang dan moralitas para pemangku kebijakan serta masyarakatnya. Ketika ketakutan irasional dibiarkan merajalela, penegakan hukum menjadi sebuah pertunjukan, dan sumpah jabatan hanya menjadi formalitas tanpa makna, kita sejatinya sedang menyaksikan erosi fondasi kebangsaan yang terjadi secara perlahan namun pasti.

Analisis terhadap artikel F. Rahardi membuka pemahaman bahwa fenomena yang dianggap sepele sesungguhnya merupakan cerminan dari masalah sosial yang lebih besar. Konsep utama yang ingin disampaikan adalah kegagapan kolektif dalam berpikir rasional, di mana masyarakat dan pemimpin sama-sama terjangkit kepanikan yang tidak berdasar. Gagasan ini didukung oleh pernyataan Rahardi bahwa, “Masyarakat mudah sekali terserang fobia oleh sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar membahayakan,” yang kemudian ia perluas untuk menggambarkan kondisi para pemimpin yang juga terjangkit “fobia nasional”, seperti takut dimakzulkan atau dikeluarkan dari koalisi.

Penulis menyampaikan gagasannya dengan menjadikan ulat bulu sebagai metafora kuat untuk menggambarkan paradoks dalam diri manusia dan kritik terhadap moralitas bangsa. Gaya penulisannya yang reflektif berhasil membangun alur berpikir yang melampaui isu permukaan. Hal ini terlihat jelas ketika ia menyindir bahwa di “republik hantu, ulat bulu tidak dianggap sebagai berkah untuk menyeimbangkan alam, tetapi sebagai tulah kesebelas.” Penggunaan istilah tersebut secara efektif mengajak pembaca merenungkan betapa berbahayanya sebuah bangsa yang dikendalikan oleh ketakutan yang tidak berdasar.

Tanggapan atas artikel ini menegaskan bahwa pesan utamanya lebih dari sebatas pentingnya literasi ekologi, ini sebuah peringatan serius mengenai dampak destruktif dari kepanikan massal. Masalah yang tampak sepele sering kali merupakan gejala dari penyakit sosial yang lebih dalam. Ketakutan irasional yang dibiarkan tumbuh subur pada akhirnya akan melumpuhkan kemampuan sebuah bangsa untuk berpikir jernih. Relevansi artikel ini terletak pada kemampuannya menjadi cermin bagi berbagai persoalan lain di mana kebijakan sering kali lahir dari reaksi sesaat. Penulis secara efektif mengajarkan pentingnya kejernihan berpikir, sebuah ide yang terangkum dalam kalimatnya,“Fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita. Terlebih bila fobia itu terjadi secara massal dan berkepanjangan seperti di republik hantu ini.”

Masalah yang tampak sepele sering kali merupakan gejala dari penyakit sosial yang lebih dalam. Ketakutan irasional yang dibiarkan tumbuh subur pada akhirnya akan melumpuhkan kemampuan sebuah bangsa untuk berpikir jernih.

Persoalan berikutnya, yang diulas dalam editorial Tempo, menunjukkan bagaimana kelumpuhan rasionalitas berlanjut menjadi disfungsi penegakan hukum. Gagasan sentral penulis adalah adanya sebuah pertunjukan hukum yang sengaja dirancang untuk melindungi kepentingan pihak tertentu, bukan sekadar inkompetensi. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan tajam bahwa “penanganan kasus oleh sejumlah instansi pemerintah tidak hanya lamban, tapi juga penuh ketidakjelasan,” yang mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk mengulur waktu dan mengaburkan tanggung jawab.

Gagasan dalam editorial ini disampaikan secara sistematis dan didukung oleh data investigatif yang kuat, sehingga argumentasinya memiliki bobot lebih dari sekadar opini. Penulis memaparkan kronologi kebingungan antarlembaga untuk menunjukkan betapa serius dan mendesaknya masalah ini, yang berpotensi memicu gejolak sosial yang lebih besar. Urgensi tersebut ditekankan dalam kalimat bahwa “buruknya penanganan perkara ini bukan tidak mungkin bakal menyulut bara konflik sosial,” yang secara efektif membangun kesadaran pembaca akan dampak luas dari kasus ini.

Ulasan terhadap editorial ini sampai pada kesimpulan bahwa penegakan hukum yang setengah hati adalah bentuk pengkhianatan terhadap rasa keadilan publik. Ketika penegakan hukum berubah menjadi sandiwara, negara gagal menegakkan aturan dan secara aktif mengkhianati kepercayaan publik demi melindungi kepentingan segelintir elite. Artikel ini berfungsi sebagai alarm yang mendesak para pemangku kebijakan tertinggi untuk segera bertindak dan mengakhiri sandiwara yang dipertontonkan. Pesan utamanya adalah negara harus menunjukkan kedaulatannya melalui tindakan nyata, sebuah konsep yang dipertegas oleh desakan agar presiden “memastikan kasus ini diusut tuntas hingga menjerat pidana para aktor dan dalangnya.” Kegagalan dalam menuntaskan kasus ini hanya akan semakin memperlebar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan pemerintah.

Ketika penegakan hukum berubah menjadi sandiwara, negara gagal menegakkan aturan dan secara aktif mengkhianati kepercayaan publik demi melindungi kepentingan segelintir elite.

Kolom Budiman Tanuredjo membawa analisis pada tingkat yang lebih fundamental, yaitu krisis nilai dan moralitas di kalangan elite legislatif. Gagasan utama penulis adalah telah terjadinya degradasi makna sumpah jabatan dari sebuah janji sakral menjadi sekadar formalitas yang mudah diabaikan. Bukti nyata dari pengabaian ini, menurut Tanuredjo, adalah ketika anggota dewan membahas revisi UU Pilkada untuk “mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi No 60/2024 maupun Putusan MK No 70/2024,” yang secara langsung melanggar sumpah mereka untuk berpedoman pada konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun