Mohon tunggu...
MICHAEL BETHRAND
MICHAEL BETHRAND Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademi Kepolisian

Mendukung Polri Prediktif Responsibilitas Transparansi Berkeadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Strategi Polmas dalam Mengontrol Eskalasi Konflik antar Suku Bangsa

27 September 2022   03:03 Diperbarui: 27 September 2022   03:15 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa (ethnic group) dengan beragam sikap, kepercayaan, nilai nilai atau kebutuhan, merupakan suatu kondisi yang  sangat rentan untuk terjadinya  konflik antar suku bangsa. 

Mengacu pada beberapa literatur, konflik antar suku bangsa (konflik sosial) dapat  terjadi karena  adanya pertentangan antar individu/kelompok, terdapat perselisihan dalam mencapai tujuan atau perbedaan persepsi dalam menafsirkan sesuatu, terdapat  pertentangan norma dan nilai individu maupun kelompok, adanya sikap dan perilaku saling meniadakan, menghalangi pihak lain untuk memperoleh kemenangan dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas, adanya perdebatan dan pertentangan sebagai akibat munculnya kreativitas, inisiatif atau gagasan gagasan baru dalam mencapai tujuan dan sebagainya (Wahyudi , 2005 : 17).   

Mengingat terjadinya konflik sosial  tidak  secara mendadak tanpa sebab dan proses, namun melalui tahapan tertentu (eskalasi) dari peristiwa sehari hari yang sifatnya tersembunyi/tertutup/laten yang ditandai dengan munculnya berbagai indikasi tidak langsung yang memerlukan pemahaman, meningkat pada yang semu/tertata, sampai kepada  pertentangan yang terbuka/pecah /tumpah ruah mengarah pada kekerasan sampai pertumpahan  darah yang penuh emosional,  sehingga banyak orang yang mengasosiasikan konflik sosial  merupakan hal yang  negatif atau buruk, karenanya cenderung dihindari (Adrianus Meliala, 2007 : 4, 12). 

Namun demikian ada juga yang menyatakan bahwa  konflik kosial  memiliki dimensi positif yang berpotensi menghasilkan perubahan secara lebih cepat, nyata dan signifikan, tak jarang lebih solutif ketimbang penyelesaian non konflik, apabila tidak mampu melahirkan solusi maka bisa dilakukan resolusi konflik /mengelola konflik  melalui  displacing (mengalihkan konflik dalam bentuk lain), dialoguing (menahan konflik tetap pada level yang bisa dimusyawarahkan), Upraising (membawa konflik pada pihak yang dianggap lebih tinggi),  Formalizing (diambil alih oleh pihak resmi seperti pengadilan), dan Localizing (menahan konflik untuk tetap fokus, tidak dikaitkan dengan hal lain) (Adrianus Meliala, 2007 :  4,18)  dalam suatu  aktivitas yang disebut Polmas.

Polmas dipandang sebagai alternatif yang paling sesuai untuk mengelola konflik antar suku bangsa, karena  Polmas memiliki prinsip yang lebih menekankan kepada hubungan sosial, partisipatif, dan kerja sama serta upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban yang bertumpu pada inisiatif dan pemberdayaan masyarakat, serta  menggalang kerjasama dan partisipasi  antar suku bangsa dalam memecahkan masalah sosial untuk  mencari solusi-solusi yang tepat tanpa adanya dominasi dan monopoli salah satu pihak dalam menyelesaikan masalah (Sutanto, 79-83).

Ada  dua suku  bangsa atau lebih yang terlibat, artinya ada interaksi antara personal maupun antar kelompok diantara  suku bangsa/etnik yang terlibat. Ada tujuan yang menjadi sumber konflik/dijadikan sasaran konflik.  Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan antar suku bangsa untuk mencapai tujuan/sasaran. 

Ada situasi konflik yang bertentangan meliputi situasi antar pribadi, antar kelompok dan antar organisasi. Adapun yang menjadi sumber konflik antara lain : karena perbedaan nilai (prinsip) dan  sikap etnosentris. kurangnya komunikasi, kepemimpinan yang kurang efektif/pengambilan keputusan yang tidak adil. 

Adanya Prasangka  dan stereotip. Perubahan keseimbangan (sumber daya alam,  status sosial-ekonomi, kesejahteraan, pendapatan, pendidikan, dominasi budaya dan sebagainya), dan konflik yang belum terpecahkan/diselesaikan.  Eskalasi konflik berkembang dari yang sifatnya tersembunyi, tertata sampai kepada yang terbuka. Dengan bentuk konflik antar suku bangsa berupa : Kerusuhan. Anarkhi. Pertikaian. Mogok/Boikot. Permusuhan antar Kampung. Perkelahian Pelajar. Penghinaan Agama. Tawuran. Pemisahan Ras. Main Hakim Sendiri. Penjarahan. Perlakuan berbeda, dan sebagainya.

Guna mengontrol eskalasi konflik agar tidak berkembang  menjadi konflik  yang terbuka/pecah/tumpah ruah, penerapan strategi Polmas  merupakan suatu pilihan untuk memecahkan masalah   dalam manajemen konflik (pengelolaan konflik), yakni tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasikan, digerakkan, dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik antar suku bangsa yang dilakukan sejak pertama kali konflik  mulai tumbuh. 

Selanjutnya melalui Polmas, Polri   bermitra dengan Instansi tekait,   Ketua Adat, Tokoh Masyarakat, dan perwakilan masyarakat (suku bangsa) yang berkonflik dengan  melakukan dialog dan  mengontrol eskalasi konflik sehingga dapat diatasi  atau diselesaikan dengan mempergunakan berbagai pendekatan.

Upaya dan langkah optimalisasi manajemen konflik guna mengontrol eskalasi konflik antar Suku Bangsa  melalui penerapan strategi  Polmas antara lain  :  Pertama , memahami Tahapan Konflik  yakni : Tahap I (Pra Konflik),  Tahap II (konfrontasi), Tahap III (Krisis), Tahap IV (Akibat)  dan Tahap V (Pasca Konflik). 

Kedua, memahami Tahap Penyelesaian Konflik dimulai dengan tahap pengumpulan data, memeriksa ulang pendataan. mengingat bahwa peran fasilitator (Petugas Polmas) untuk menghasilkan keputusan manajemen konflik, yakni memenangkan pengakhiran konflik. Mendengarkan penjelasan dari dua belah pihak yang berkonflik. 

Membangun kerja sama untuk menyelesaikan konflik. Melakukan negosiasi dan kompromi. Mengemukakan bahwa kerukunan jauh lebih mahal daripada pertentangan dan konflik. Ketiga, Menentukan penyelesaian Konflik  dengan tiga pilihan antara lain : Kalah--Kalah,  Kalah--Menang, dan Menang--Menang. Keempat, memilih metode/pendekatan penyelesaian Konflik melalui :  Displacing. Dialoguing. Upraising . Formalizing. Localizing. Dengan cara : Mediasi, Arbitase, Rekonsiliasi, Adat (Adat Approach), Penegakan Hukum (Legal Approach), Negosiasi Intra Kultur -- Lintas Budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun