Mohon tunggu...
Fariz Agus Cahyono
Fariz Agus Cahyono Mohon Tunggu... Lainnya - Tenaga Kependidikan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Saya suka olahraga sepak bola dan senang membaca tentang dunia pendidikan, pertahanan, politik, dan pengetahuan umum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Strategi Indonesia Menghadapi Pusaran Konflik Laut Cina Selatan

11 Maret 2024   10:53 Diperbarui: 11 Maret 2024   11:41 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://tni.mil.id/view-225927-latgab-tni-2023

Kawasan Laut Cina Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan Kepulauan dua Pulau besar, yaitu Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan karang Scarborough yang terbentang luas dari negara Singapura yang dimulai dari Selat Malaka sampai Selat Taiwan (Poltak Partogi Nainggolan, 2013). 

Bentangan yang begitu luas tersebut membuat klaim atas wilayah Laut Cina Selatan melibatkan banyak negara. Konfrontasi klaim atas sebagian atau bahkan seluruh wilayah Laut Cina Selatan bukannya tanpa alasan mengingat potensi Sumber Daya Alam di wilayah tersebut cukup besar terutama mineral, gas alam, dan minyak bumi.

Cina sebagai negara utama yang memiliki kepentingan dan klaim wilayah perairan tersebut seakan tidak memperdulikan negara sekitar wilayah tersebut, seperti Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia. 

Cina mengklaim mutlak wilayah tersebut berdasarkan peta garis putus putus atau yang lebih dikenal dengan terminologi nine dash line. Klaim Cina secara tiba-tiba pada tahun 2012 inilah yang memicu timbulnya eskalasi kontrol dan keamanan stabilitas kawasan bahkan luar kawasan tersebut.

Cina mulai melakukan tindakan agresif dan provokatif terhadap negara lain disekitar Laut Cina Selatan seperti Vietnam, Flipina, Brunei, dan Malaysia. Cina juga melarang nelayan dari negara lain untuk mengeksploitasi perairan tersebut. Mungkin untuk saat ini konflik yang terjadi masih bersifat low intensity conflict. 

Namun jika resolusi konflik secara permanen tidak terealisasi, tidak menutup kemungkinan konflik akan semakin terbuka dan bersifat high intensity conflict yang tentu saja akan berimplikasi lebih luas.

Belakangan Cina mulai memperluas garis peta nine dash line mereka sampai ke wilayah Laut Natuna Utara, Indonesia. Mungkin kita masih asing dengan nama Laut Natuna Utara, sangat wajar karena memang penamaan tersebut baru diresmikan pada tahun 2017 seiring dengan meningkatnya klaim sepihak Cina terhadap ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia bagian utara. 

Timpang tindih perairan inilah yang membuat Indonesia bersikap dan melalukan nota protes. Akan tetapi hal ini tetap tidak mengurangi klaim wilayah LCS (Laut Cina Selatan) yang dilakukan Cina, bahkan mereka secara terang-terangan memasuki ZEE Indonesia tanpa izin, baik itu oleh nelayan, peneliti, bahkan militer negara Cina itu sendiri.

Indonesia yang awalnya tidak terlibat dalam pusaran konflik di Laut Cina Selatan, saat ini harus lebih aware dalam menjaga kedaulatannya. Dewasa ini Cina merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia yang membuat mereka berupaya memperluas pengaruhnya secara global. Cina juga melakukan modernisasi alutsista secara besar-besaran sehingga menimbulkan sensistifitas bagi negara sekitar di kawasan bahkan luar kawasan. 

Amerika Serikat sebagai negara adidaya meradang dan menganggap hal ini merupakan ancaman bagi Amerika Serikat sendiri. Pelibatan Amerika dalam konflik di Laut Cina Selatan tentu saja akan membuat potensi kekacauan di Laut Cina Selaan semakin besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun