Mohon tunggu...
MH Kholis
MH Kholis Mohon Tunggu... Pegiat Sastra -

petualang, pegiat sastra, juga pencinta kopi. twitter: @mhkholis, Fb: MH Kholis. ig: @mhkholis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Penjual Kenangan

30 Mei 2017   12:32 Diperbarui: 16 September 2017   07:01 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung itu tiba-tiba geger oleh sebuah peristiwa pada suatu pagi yang begitu damai. Seorang gadis yang tak seorang pun tak mengenalnya tiba-tiba hilang setelah malam bersekutu dengan ringkih burung di pohon jati tepi sungai. Biru. Begitu orang-orang kampung mengenal dan memanggilnya. Sejak kecil ia diasuh oleh seorang ayah yang sangat mengasihinya. Ia tumbuh dan besar dengan sifatnya yang lemah lembut dan memiliki paras cantik dan anggun. Hingga suatu hari dan hari-hari lainnya yang tidak pernah ia tulis dalam mimpinya menjadi sebuah rentetan luka dan duka dalam hati dan tubuhnya.

***

            Birrul Waalidain,begitulah namaku. Semua orang memanggilku Biru. Nama yang begitu manis ketika matahari berkabung setiap pagi mengintainya. Aku hidup dan besar tanpa pernah merasakan sentuhan dan belaian seorang ibu. Ia meninggalkanku untuk selamanya sesaat setelah mataku melihat luasnya dunia. Itu cerita ayahku. Seorang ayah yang tak pernah sekalipun memarahi atau menegurku dengan suara yang keras atau sedikit keras. Ia selalu lembut dan ramah terhadapku. Setiap bercerita tentang mendiang ibu, selalu ada debur air mata yang tertahan dan tumpah sesaat ketika aku tidak melihat wajahnya. Ketika aku bertanya tentang ibu yang telah pergi, ia selalu berkata bahwa ibu pergi karena cintanya yang begitu besar padaku. Itulah sebabnya aku diberi nama Biru yang berarti lengkap berbakti pada kedua orang tua.

            Suatu ketika saat senja membelah diri menjadi sore dan petang, saat itu usiaku sudah hampir dua windu, aku bertanya pada ayah tentang kesepian yang sengaja ia simpan dan sembunyikan di antara bilah matanya yang mulai sendu. Ia hanya mengeja beberapa jawaban yang begitu teguh dan tegar. “Biru, ayah sudah berjanji pada ibumu sewaktu masih bersama bahwa, ayah tidak akan mencari penggantinya sekalipun ia sudah tiada.” Itulah gubahan kata yang perlahan keluar dari lubuk hatinya yang gersang. Aku selalu melihat kegersangan itu. Semakin hari semakin gersang seakan padang pasir yang tidak pernah bersetubuh dengan hujan.

            Sebenarnya, dalam hatiku tidak pernah terbersit untuk menggantikan ibu di ruang hati ayah, tetapi aku tidak ingin terus-menerus melihat tubuh itu menjadi ladang kegelisahan yang ditumbuhi rerumputan pilu. Walaupun sekujur matanya selalu berkata bahagia, tetapi tubuh dan dadanya selalu terguncang oleh sepi dan kesepian.

            “Ayah, Biru ingin melihat ayah bahagia seperti ketika bersama ibu,” aku beranikan diri padanya pada suatu siang selepas ia pulang dari masjid. Namun, ia hanya diam dan memandangiku dengan senyap. Matanya seakan ingin tersenyum, tapi tertahan oleh denyarnya. “Nak, apa ayah harus menginkari janjiku pada ibumu, aku bahagia dengan kebahagiaan kamu.” Hanya itu. Yah, hanya itu jawabnya. Ia berlalu dan meletakkan kopiah hitam dan sajadahnya di dinding kamar yang selalu ia diami. “Ayah ke sawah dulu,” ujarnya setelah keluar dari kamar. “Biru ingin merasakan memanggil ibu di rumah ini, ayah.” Ia behenti lalu menoleh sejenak dan berlalu hingga hilang di ambang pintu.

***

            “Tok… tok… tok… tok…”suatu siang yang lengang aku dikagetkan oleh suara pintu yang diketuk dengan keras. Aneh. Biasanya ayah selalu mengetuk pintu dengan pelan dan perlahan. Siang itu tidak. Semakin lama ketukan itu semakin kencang dan berubah menjadi gedoran. Aku beranjak dari tidur siangku lalu membuka pintu yang sudah hampir lepas engselnya. Seorang lelaki dengan wajah muram dan nanar berdiri tegak di depan pintu rumahku. Aku tidak pernah melihat orang itu di kampungku atau di kampung terdekatku. Siapa gerangan lelaki ini. Tanya hatiku. Tiba-tiba mengetuk dan menggedor pintu rumahku.

            “Benar ini rumah Anwar?” sebuah tanya dengan mata yang semakin nanar. Anwar adalah nama yang sejak kecil telah kupanggil ayah. Dan sejak kecil pula aku belum pernah melihat lelaki yang tengah berdiri di depanku di depan pintu rumahku. Bahkan aku tidak pernah melihat ia bersama ayah atau menemui ayah sepanjang hidupku di rumah atau di sawah atau di tempat lainnya. “Siapa bapak ini? Ada urusan apa dengan ayah saya?” bibirku gugup mengeluarkan beberapa kata itu. Sebab, ini pertama kalinya aku berhadapan dengan seorang yang berperangai sangar dan liar. Matanya menelanjangi tubuhku sejak aku membuka pintu dan berdiri di hadapannya. Seketika ia menelan ludah saat melihat wajahku yang polos dengan penuh berahi. Aku gugup dan dadaku meletup menjadi gumpalan rasa yang menggigil oleh nanar matanya. Ia terus-menerus menelanjangi tubuhku dengan matanya yang semakin liar.

            “Katakan pada ayahmu, jika ingin menjadi seorang lelaki jantan jangan bersembunyi di balik paras anaknya yang cantik.” Gertaknya dengan tertahan. “Saya tidak mengerti maksud bapak.” Jawabku masih dengan rasa gugup dan takut. Aku menunduk perlahan. Aku tidak ingin wajahku menjadi lumatan matanya yang liar. “Heh! Ayahmu telah membuatku mengelurkan pusaka yang sudah lama tidak meminum darah. Kau tahu?! Ia sudah hampir setengah tahun tidak membayar mahar atas permintaannya sendiri.” Mahar? Mahar apakah yang dimaksud bapak tua yang liar ini. Mata dan wajahku terangkat dan menatap tajam lelaki itu. Dadaku bergemuruh dan jantungku seperti meletup-letup mendengar perkataan lelaki tadi. “Kamu pasti tidak percaya. Ucapanku ini benar adanya! Jika tidak percaya tanyakan nanti pada ayahmu yang menyembunyikan sifat serakah di balik kelembutan yang selalu diperlihatkan padamu.” Ia masih mengurai dan mengeluarkan kata yang begitu keras di hadapanku yang semakin bingung. “Ibumu meninggal bukan karena melahirkanmu, tapi karena dijadikan tumbal oleh ayahmu.” Ia memukul meja dan pergi dari hadapanku yang telah menetaskan air mata tanpa sengaja.

            Aku merenungi beberapa kalimat ucapan bapak tua tadi. Benar atau tidak aku masih memikirkannya. Ibu meninggal karena dijadikan tumbal bukan karena kelahiranku, ah! Aku semakin bingung! Selama ini ayah tidak pernah sedikit pun menyinggung masalah ini, bahwa ayah telah lama berguru pada seorang dukun bernama Muharam. Dan tumbalnya adalah ibuku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun