Mohon tunggu...
Marcell Gunas
Marcell Gunas Mohon Tunggu... Buruh - Tinggal di Yogyakarta

Bukan penulis, tapi suka nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar Gotong Royong Sosial dari Warga Sawahan, Pundong

15 Oktober 2021   21:49 Diperbarui: 16 Oktober 2021   04:00 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa pemuda Desa Sawahan sedang berbelanja sembako di Pasar Giwangan. Sembako akan dibagikan kepada warga Sawahan yang sedang menjalani isolasi mandiri. Dok. Marcell Gunas

Gotong royong jadi materi kampanye banyak pihak selama pandemi virus corona merebak. Kerja gotong royong adalah kerja saling bantu menghadapi pandemi. Saya menyaksikannya di Dusun Sawahan, Kapanewon Pundong, Bantul, Yogyakarta.

Keluarga kami adalah warga pertama di Dusun Sawahan, Kapanewon Pundong, Yogyakarta yang terpapar virus corona (Covid-19). Kami terpapar Covid-19 pada bulan Maret 2021. Dari 4 orang yang ada di rumah kami, saya dan isteri dinyatakan positif Covid.

Kami tidak terlalu jauh memeriksa, kami tertular virus dari siapa. Yang pasti, laporan kami ke pihak Puskesmas setempat ditindaklanjuti dengan langkah tracing terhadap beberapa warga yang tergolong kontak erat dengan kami beberapa hari sebelumnya.

Dari Puskesmas setempat, kami diarahkan untuk menjalani isolasi di shelter. Selama kurang lebih 10 hari kami menjalani isolasi di Shelter Patmasuri Bantul. Shelter ini dulunya adalah Rumah Sakit (RS) Patmasuri, milik sebuah Yayasan. Saat pandemi  merebak, RS ini dialihkan menjadi shelter tempat isolasi pasien Covid yang bergejala ringan.

Fasilitas di shelter cukup memadai. Setidaknya, standar ketentuan minimal fasilitas tempat isolasi pasien Covid-19 terpenuhi. Selain fasilitas untuk pasien Covid-19, shelter ini juga menyiagakan beberapa dokter dan perawat. 

Hampir semua ruangan pasien penuh. Satu kamar diisi rata-rata 2 orang pasien. Makanan disediakan 3 kali sehari; sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Menunya bervariasi. Yang pasti, kriteria 4 sehat 5 sempurna terpenuhi.

Pasien juga difasilitasi untuk menikmati suasana fun di shelter. Shelter menyediakan 2 speaker aktif yang tersambung dengan sebuah monitor untuk melayani pasien yang ingin karaoke. Ada juga papan karambol. Fasilitas hiburan ini diletakkan di ruangan terbuka.

Beberapa kali saya lihat bapak-bapak semangat sekali karaoke sambil goyang dangdutan.

Pasien yang menjalani isolasi di shelter ini berasal dari berbagai kalangan dan kelompok usia. Mulai dari warga biasa hingga aparatur pemerintah. Dari anak-anak hingga lansia. Lengkap.

Setiap pagi dan sore, pasien diwajibkan untuk melakukan pengukuran suhu tubuh, kadar oksigen dalam darah dan tekanan darah. Hasil pengukuran dilaporkan di Whatsapp Grup yang beranggotakan pasien dan pengelola shelter. Pasien juga diwajibkan meng-update secara berkala keluhan-keluhan yang dirasakan.

Tak jarang saya dan beberapa pasien terlibat ngobrol 'santuy. Cerita yang asyik-asyik dan bikin ngakak. Ada-ada saja bahan obrolannya. Dari yang klenik sampai yang romantik. Dari cerita surgawi sampai cerita receh kenikmatan duniawi. You know lah cerita bapak-bapak.

Amtosfir itu memang diciptakan dan, kadang-kadang, difasilitasi beberapa petugas. Sebab, shelter bukan saja soal pemulihan fisik dalam hal mengoptimalkan imun tubuh melawan virus tetapi juga penguatan psikis: memastikan pasien tidak stress dan tetap dipenuhi energi positif.

Cara itu saya kira perlu.

Sebagian orang yang dinyatakan terpapar covid kerap dihantui perasaan traumatik. Entah karena adanya image lingkungan sosial yang masih belum well educated soal penularan virus, atau karena ada perasaan cemas yang berlebihan akan kematian.

Tidak semua dengan kepala tegak meyakini dirinya bisa sembuh saat terpapar covid. Tidak semua optimis dengan penanganan yang diterima---terlepas dari fakta masih ada masalah dan tantangan penanganan pasien oleh negara. Padahal perasaan-perasaan yang penuh energi positif saya kira juga menjadi penentu pemulihan seorang pasien covid.

Anak saya masih berusia 2 tahun lebih 10 bulan. Ia ditinggalkan di rumah, ditemani saudari saya. Mereka sudah dinyatakan negatif Covid.

Bagaimana kebutuhan mereka di rumah terpenuhi?

Warga Sawahan telah sepakat: setiap warga berkewajiban membantu penyediaan kebutuhan sembako bagi warga yang terpapar Covid dan menjalani isolasi mandiri di rumah.

Jika yang bersangkutan menjalani isolasi di tempat isolasi di luar Dusun, di Shelter misalnya, maka kebutuhan sembako bagi keluarganya di rumah dipenuhi warga.

Kegiatan penyediaan sembako dan kebutuhan lainnya itu dipimpin langsung oleh Kepala Pedukuhan (Dusun). Di sini, biasa dipanggil Pak Dukuh.

Karena itu, saat saya dan isteri diisolasi di Shelter, tetangga kami membantu pemenuhan kebutuhan makanan untuk anak dan adik saya di rumah. Setiap pagi, tetangga datang untuk membawa makanan. Mereka bahkan berulang kali minta agar adik saya tidak sungkan meminta bantuan jika ada kebutuhan yang mendesak khususnya kebutuhan anak saya. 

Sungguh, kami merasa dikuatkan.

Pemenuhan kebutuhan harian itu berlangsung hingga kami keluar dari tempat isolasi (setelah dinyatakan telah negatif dan dibolehkan pulang oleh pihak Shelter.

Gotong Royong Sosial: Peluru Hadapi Pandemi

Apa yang terjadi di Dusun Sawahan dapat lah dilihat sebagai wujud dari apa yang kerap disebut "gotong royong sosial". Istilah gotong royong sosial hendak menggambarkan suatu proses kultural dalam sebuah masyarakat yang mengedepankan kebersamaan, solidaritas, persaudaraan sejati dan keharmonisan dalam bermasyarakat. 

Gotong royong sosial menggambarkan originalitas dari sebuah kehidupan masyarakat. Jika ditelisik dari sudut pandang istilah, masyarakat yang dalam Bahasa Inggris disebut Society, juga berasal dari bahasa Latin Socius, yang secara sederhana dapat dipahami sebagai kawan. Bermasyarakat ya berkawan. Dengan siapa saja, tanpa memandang latar belakang dan kedudukan sosial pribadi per pribadi.

Istilah gotong royong sebagai sebuah kerja sosial juga bisa dilihat dari terjemahan lurus Bahasa Jawa; gotong artinya mengangkat, dan royong bersama-sama.

Gotong royong itu kerja kemanusiaan. Kerja sukarela dan kedermawanan sosial, tanpa pamrih. Bagian dari pengabdian manusia untuk kemanusiaan universal. Puncak dari kemanusiaan adalah "kasih".

Seperti yang didefinisikan antropolog Koentjaningrat; 

"Gotong royong merupakan sebuah kerjasama, dimana seseorang dikatakan beriman jika ia telah mencintai saudaranya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri."

Pandemi ini, salah satunya, mengandung pesan agar gotong royong sosial diperkuat. Lagipula, bukankah memang gotong royong merupakan salah satu filofofi bangsa Indonesia? Abhiram Singh Yadav, dalam artikelnya di Kompas.com menyentil, dalam konteks pandemi, filasafat ini menjadi relavan saat aktor negara, aktor non-negara dan masyarakat dituntut untuk bekerjasama menjaga lingkungan sekitar serta saling melindungi terhadap penyebaran virus Covid-19.

Tumbuhnya semangat gotong royong sosial selama pandemi juga ampuh untuk membunuh pengucilan sosial terhadap mereka yang terpapar. Kita tahu, di beberapa tempat, pengucilan itu terjadi.

Kita tentu masih ingat, ketika seorang pasien reaktif Covid-19 asal Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, berinisial WA (29) pada Selasa, 7 Juli 2020 malam terpaksa dibawa ke Posko Tim Gugus Pencegahan dan Penanggulangan (TGPP) Covid-19 Kabupaten Aceh Barat berlokasi di Desa Seuneubok, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh karena warga di desa tempat tinggalnya menolak ia dirawat di dekat desa itu.

Selain itu, pada Juli 2021, di Desa Makmur, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai,  warga menolak pemakaman jenazah pasien Covid di tempat pemakaman Kristen yang terletak di Dusun VI. 

Dua dari sekian contoh kasus pengucilan dan penolakan terhadap pasien Covid-19 itu menunjukkan semangat gotong royong yang memudar. Padahal gotong royong merupakan kekuatan utama selama pandemi ini, di saat masih banyak hambatan penanganan Covid-19 di level kebijakan pemerintah.

Artinya, solusi negara tentu saja bukan satu-satunya "peluru" yang bisa dipakai untuk menghadapi pandemi. Diperlukan kerja bersama di level komunitas masyarakat untuk merumuskan strategi penanganan pandemi yang tepat, tanpa harus ada pengucilan dan peminggiran terhadap mereka yang terpapar.

Ini ditegaskan juga oleh imawan Pradiptyo, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM sekaligus pendiri komunitas SONJO. Menurutnya, untuk bisa bergerak bersama maka diperlukan pemahaman terhadap masalah yang dihadapi yaitu pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 dipandang sebagai perubahan yang mendasar maka diperlukan respons yang juga berubah. 

Rimawan mengatakan, untuk bisa membantu penanganan pandemi Covid-19 tidak sepenuhnya bisa mengandalkan sumber daya yang dimiliki pemerintah. Sumber daya pemerintah tidak banyak dan terbatas. Pemerintah tidak memiliki dana banyak sehingga ketika pemerintah melakukan defisit anggaran maka anggarannya hanya 6 persen dari GDP.  Jumlah ini tidak sama dengan negara-negara lain yang mencapai 15-30 persen.

"Kemampuan pemerintah terbatas. Lalu, kita bisa bantu apa, dan kemana, maka terbaik adalah mendekat pada masyarakat  karena di masyarakat banyak resources meski tidak dalam bentuk uang," jelasnya.

Pandemi Covid-19 mengajak kita untuk kembali memperkuat dan membumikan gotong royong sosial sebagai filosofi kehidupan bangsa. Dan, saya kira, sedulur-sedulur saya di Sawahan, Pundong sudah menunjukkan itu.

Salam dari Sawahan, KM17 Parangtritis!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun