Negeriku seperti anak-anak yang baru lahir, dari rahim kolonial yang telah lama berkarat. Masih berkelahi mencari tema-tema pembenaran, melupakan air susu ibu yang tertumpah-tumpah demi seonggok sampah dari Amerika, Eropa bahkan China.
Siapakah yang bisa memberitahu mereka tentang rasa hormat pada leluhur tanah keramat ini, pada orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun, tapi telah dicampakkan hanya dengan sekali hempasan.
Retorika itu telah memenuhi seluruh ruang kosong di jagad ini, bahkan ke ruang-ruang kosong di dalam otak bangsa ini. Mereka yang saling merampas suara seperti mendorong malam agar cepat menutupi senja.
Â
Titik. Begitu saja yang aku pahami, mereka saling mengejek dengan mata beringas, bendera direbut, letusan di balik jeruji, jerit tangis anak-anak, namun masih menyisakan pesta mabuk dan dansa-dansi di sela-sela keprihatinan yang mencekik.
Wahai negeriku... Siapakah yang akan mengusung tubuhmu, pada setiap langkah kaki yang sibuk saling merebut waktu. Demi segenggam kekuasaan, hingga langkah mereka goyah meski hanya untuk sekedar menyimpan dirimu.
Tunggulah kami, beri kami waktu, beri kami waktu, beri kami waktu untuk kejayaan, meski sepatu di kaki ini masih goyah untuk menapak tapi percayalah panji-panji itu akan berkibar.
