Mohon tunggu...
Meta Firdayanti15
Meta Firdayanti15 Mohon Tunggu... Mahasiswa/Universitas Pendidikan Ganesha

Nama saya Kadek Meta Firdayanti, biasa dipanggil Meta. Usia saya 18 tahun dan saat ini saya sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha. Hobi saya adalah Menyanyi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Tuhan Dalam Banyak Nama Menyingkap Esensi Ketuhanan Dalam Hindu

17 September 2025   04:24 Diperbarui: 17 September 2025   04:24 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam ajaran Hindu, Tuhan diyakini sebagai realitas yang tunggal, mutlak, dan tidak terbatas. Akan tetapi, karena sifat-Nya yang begitu luas, abstrak, dan melampaui jangkauan pikiran manusia, keberadaan Tuhan sulit dipahami secara langsung. Untuk memudahkan umat dalam mengenali dan mendekatkan diri kepada-Nya, Tuhan kemudian dimanifestasikan ke dalam berbagai bentuk yang disebut dewa-dewi.
Setiap dewa dan dewi bukanlah Tuhan yang berdiri sendiri, melainkan simbol atau perwujudan dari aspek tertentu dari Tuhan Yang Esa. Misalnya, Dewa Brahma dipahami sebagai perwujudan kekuatan Tuhan dalam mencipta, Dewa Wisnu menggambarkan peran Tuhan sebagai pemelihara kehidupan, sedangkan Dewa Siwa mewakili kuasa Tuhan dalam melebur sekaligus memperbarui alam semesta. Ketiganya sering disebut sebagai Trimurti, yang mencerminkan bahwa dalam setiap proses kehidupan---mulai dari penciptaan, pemeliharaan, hingga peleburan---sesungguhnya Tuhan yang sama sedang bekerja melalui fungsi yang berbeda.
Perbedaan manifestasi ini bukanlah tanda adanya banyak Tuhan, melainkan sebuah jembatan agar manusia yang terbatas mampu memahami sebagian kecil dari kebesaran Tuhan yang tak terbatas. Hal ini sejalan dengan pandangan Hindu bahwa Tuhan dapat hadir dalam bentuk apapun yang dapat membawa manusia lebih dekat kepada-Nya.
Dengan demikian, pemujaan terhadap dewa-dewi dalam Hindu sesungguhnya adalah bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui manifestasi-manifestasi-Nya. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa meskipun tampak beragam, inti ajaran Hindu tetap berlandaskan pada monoteisme yang menekankan keesaan Tuhan

Hindu: Monoteisme yang Inklusif

Kesalahpahaman yang kerap muncul mengenai agama Hindu adalah anggapan bahwa Hindu merupakan agama politeis hanya karena umatnya menyebut banyak nama dewa dan dewi dalam praktik keagamaan. Jika ditelaah secara filosofis, pandangan ini tidak sepenuhnya tepat. Dewa-dewi dalam Hindu bukanlah Tuhan yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan wujud atau simbol dari aspek-aspek tertentu dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, Hindu lebih tepat dipahami sebagai agama dengan corak monoteisme yang inklusif, bukan politeisme.
Monoteisme Hindu berbeda dengan monoteisme kaku yang hanya menekankan satu bentuk penyembahan tanpa variasi. Hindu menekankan bahwa Tuhan adalah satu, namun kehadiran-Nya dapat dialami melalui berbagai jalan dan simbol yang sesuai dengan kebutuhan spiritual, budaya, dan lingkungan masyarakat. Hal inilah yang membuat Hindu disebut inklusif, karena memberikan ruang bagi umat untuk mengenali Tuhan sesuai dengan tradisi masing-masing, tanpa keluar dari esensi keyakinan akan keesaan-Nya.
Contohnya, di India Tuhan disebut dengan istilah Brahman, sementara di Bali lebih dikenal dengan sebutan Sang Hyang Widhi Wasa. Meskipun nama dan cara pemujaannya berbeda, keduanya tetap menunjuk pada Tuhan yang sama. Demikian pula, umat Hindu bisa memilih untuk memuja Wisnu, Siwa, atau Dewi Saraswati, namun tujuan akhirnya tetap tertuju pada Tuhan Yang Esa.
Keterbukaan ini menjadikan Hindu agama yang mampu berdialog dengan berbagai budaya dan tradisi lokal tanpa kehilangan jati dirinya. Ia bersifat universal namun sekaligus kontekstual. Dengan demikian, Hindu memperlihatkan bahwa monoteisme tidak harus eksklusif dan seragam, melainkan dapat hadir dalam bentuk yang beragam namun tetap berlandaskan pada satu sumber ilahi yang sama.
Konsep inilah yang menegaskan bahwa Hindu bukanlah politeisme, melainkan monoteisme yang inklusif. Disebut monoteisme karena Hindu berpegang pada keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan yang menjadi sumber, pengatur, dan tujuan akhir seluruh kehidupan. Disebut inklusif karena Hindu memberi ruang yang luas bagi keberagaman cara dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Monoteisme Hindu tidak bersifat kaku atau eksklusif yang hanya membenarkan satu bentuk penyembahan. Sebaliknya, ia menerima bahwa setiap manusia dapat menempuh jalan spiritual sesuai dengan budaya, tradisi, dan keyakinannya masing-masing, selama tujuannya tetap menuju Tuhan Yang Esa. Misalnya, seseorang dapat lebih dekat dengan aspek Tuhan sebagai pemelihara (Wisnu), sementara yang lain lebih nyaman melalui aspek Tuhan sebagai pemberi ilmu pengetahuan (Dewi Saraswati). Perbedaan ini bukan berarti menyembah Tuhan yang berbeda, melainkan cara yang berbeda untuk berhubungan dengan realitas ilahi yang sama.

Brahman dan Sang Hyang Widhi Wasa

Dalam ajaran Hindu, terutama dalam filsafat Vedanta, Tuhan dipahami sebagai Brahman, yakni realitas tertinggi yang menjadi sumber, dasar, dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta. Brahman tidak terbatas oleh ruang dan waktu, bersifat abadi, dan melampaui segala bentuk material maupun konseptual yang bisa dibayangkan manusia. Karena sifat-Nya yang begitu agung, Brahman disebut sebagai realitas yang nirguna, artinya tanpa sifat tertentu yang bisa dibatasi oleh pikiran manusia. Namun, dalam saat yang sama, Brahman juga saguna, yaitu hadir dalam sifat-sifat yang dapat dikenali melalui manifestasi-Nya dalam wujud dewa-dewi.
Brahman memiliki dua sisi pemahaman. Pertama, nirguna Brahman, yaitu Tuhan yang tidak terikat oleh bentuk atau sifat tertentu, sehingga tidak bisa dijangkau oleh pancaindra maupun pikiran manusia. Kedua, saguna Brahman, yaitu Tuhan yang dihadirkan dalam berbagai sifat dan wujud agar manusia dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Dari sinilah lahir berbagai manifestasi Tuhan dalam bentuk dewa-dewi, yang sesungguhnya hanyalah sarana untuk mengenali sebagian kecil dari kebesaran-Nya.
Di Bali, umat Hindu menggunakan istilah Sang Hyang Widhi Wasa untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa. Kata "Widhi" berarti hukum atau ketentuan, sedangkan "Wasa" berarti penguasa. Dengan demikian, Sang Hyang Widhi Wasa dipahami sebagai Penguasa Tertinggi yang mengatur hukum alam semesta. Meski istilah yang digunakan berbeda dengan "Brahman" di India, hakikatnya tetap sama, yaitu menunjuk pada Tuhan yang satu, tunggal, dan melampaui segala ciptaan.
Perbedaan istilah ini menunjukkan bagaimana Hindu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan budaya lokal. Di India, istilah "Brahman" lahir dari tradisi filsafat Veda, sementara di Bali istilah "Sang Hyang Widhi Wasa" muncul sebagai wujud akulturasi antara ajaran Hindu dan budaya Nusantara. Meski penyebutannya berbeda, keduanya tetap menegaskan konsep monoteisme Hindu, yakni keyakinan pada satu Tuhan yang Esa.
Keragaman istilah, simbol, dan cara pemujaan sering kali membuat Hindu tampak rumit di mata orang luar. Namun, sesungguhnya hal ini mencerminkan fleksibilitas dan kekayaan spiritual Hindu. Dengan berbagai sebutan dan bentuk manifestasi, Hindu berusaha menjelaskan kebesaran Tuhan yang sebenarnya tak terjangkau sepenuhnya oleh nalar manusia. Oleh sebab itu, meskipun tampak plural dalam praktik dan simbol-simbolnya, hakikat ketuhanan Hindu tetap menekankan satu realitas ilahi yang sama.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa agama Hindu tidak tepat apabila disebut sebagai agama politeis. Anggapan tersebut muncul hanya dari pengamatan luar, di mana umat Hindu dalam kesehariannya memang mengenal banyak dewa dan dewi yang dipuja dalam upacara maupun doa. Namun, pemahaman yang lebih mendalam justru menunjukkan bahwa inti ajaran Hindu berlandaskan pada keyakinan akan satu Tuhan yang Esa.
Tuhan dalam Hindu dikenal dengan berbagai nama dan perwujudan, seperti Brahma, Wisnu, Siwa, maupun dewa-dewi lainnya. Manifestasi tersebut tidak dimaksudkan untuk menegaskan keberadaan banyak Tuhan, melainkan sebagai jalan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan kebutuhan spiritual, budaya, serta tradisi masing-masing. Dengan cara ini, umat lebih mudah memahami kebesaran Tuhan yang sifat-Nya tak terbatas dan melampaui kemampuan akal manusia.
Konsep "satu Tuhan dalam banyak nama" adalah kunci untuk memahami ketuhanan dalam Hindu. Keberagaman sebutan dan wujud bukanlah tanda perbedaan esensi, melainkan bukti bahwa Hindu memberikan ruang bagi umat untuk menempuh jalannya sendiri dalam menghayati kehadiran Tuhan. Hal ini sekaligus menunjukkan fleksibilitas Hindu yang mampu menyatu dengan berbagai budaya, tanpa kehilangan inti ajarannya.
Dengan demikian, Hindu dapat dipandang sebagai agama dengan monoteisme yang inklusif. Ia menegaskan keesaan Tuhan, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya keragaman ekspresi dalam menyembah-Nya. Inilah yang menjadikan Hindu unik: kaya dalam simbol dan tradisi, namun tetap teguh pada satu keyakinan fundamental, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui pemahaman ini, kita dapat melihat bahwa Hindu sesungguhnya adalah agama yang menjunjung tinggi keesaan Tuhan, sambil tetap menghargai keragaman cara manusia dalam mendekati dan merasakan kehadiran-Nya.AA

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun