Dari Belanga ke urusan Bangsa
Di sebuah dapur sederhana sebuah desa di Ciamis, seorang ibu mengaduk pepes ikan dalam belanga tanah liat. Di luar, anak-anak berseragam putih merah berbaris rapi menunggu sepiring makan siang. Tidak ada catering mewah, tidak ada kemasan plastik berlogo kementerian. Yang ada hanya aroma rempah, tangan terampil, dan harapan yang dimasak perlahan.
Inilah semata wajah khayalan sejati dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), jika kita berani melihatnya dari akar, bukan dari amplop.
Mimpi Bergizi di Negeri Kaya Rasa
Diluncurkan pada Januari 2025, MBG adalah program ambisius pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menurunkan angka stunting, meningkatkan kualitas gizi anak-anak dan ibu hamil, serta mendorong ekonomi desa.Â
Dengan anggaran Rp71 triliun dan target Rp8 miliar per desa per tahun, MBG menjadi program sosial terbesar dalam sejarah Indonesia.
Namun, pertanyaan mendasarnya bukan sekadar "berapa banyak yang diberi makan," melainkan "apa yang mereka makan?"
Makanan Lokal: Bukan Alternatif, Tapi Solusi
Indonesia bukan negara kekurangan pangan  kita hanya sering lupa bahwa kekayaan itu tumbuh di halaman sendiri. Menurut dr. Tan Shot Yen, 80% isi menu MBG sebaiknya diisi oleh pangan lokal khas daerah. Ini bukan sekadar romantisme kuliner, tapi strategi gizi berbasis konteks.
Di Papua, anak-anak tumbuh sehat dengan ikan kuah asam yang kaya protein dan omega-3. Di Sulawesi, kapurung, campuran tepung sagu, sayur, dan ikan  menjadi sumber karbohidrat kompleks dan serat.Â
Di Maluku, papeda dan ikan bakar bukan hanya makanan, tapi warisan yang mengandung zat gizi mikro penting. Di Timor, jagung bose menyajikan serat, vitamin B, dan zat besi yang dibutuhkan ibu hamil dan balita.Â
Dan di Sumatera Barat dan Riau, asam padeh ikan bukan sekadar lauk, tapi sumber antioksidan dari rempah yang telah diwariskan lintas generasi.