Dari Pertanyaan Jurnalis ke Pencabutan Akses
Sabtu pagi, 27 September 2025, seorang wartawan CNN Indonesia mengajukan pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto: "Terkait makanan bergizi gratis (MBG), apakah ada instruksi khusus, Pak?"
Pertanyaan itu diajukan dengan sopan, relevan, dan menyangkut keselamatan ribuan anak. Namun tak lama setelah itu, Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Istana mencabut kartu pers istana milik jurnalis tersebut. Alasannya: "di luar konteks briefing".
Ini bukan sekadar miskomunikasi. Ini adalah pembungkaman suara kritis. Ketika pertanyaan tentang keracunan makanan dianggap mengganggu narasi resmi, maka kita sedang menghadapi darurat komunikasi publik.
Statistik yang Menenangkan, Fakta yang Mengkhawatirkan
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa hanya 0,0004% porsi MBG tercemar, 4.711 dari 1 miliar porsi. Tapi di balik angka besar itu, ada 105 insiden keracunan dalam 8 bulan. Itu berarti hampir dua insiden per minggu sekolah.
Dalam manajemen risiko, kita tidak menilai "berapa persen yang aman", tapi "berapa kali terjadi kegagalan" dan "seberapa besar dampaknya".Â
Ketika angka digunakan untuk menutupi insiden, maka statistik berubah menjadi alat pembius publik.
Ketika Public Speaking Menjadi Public Silencing
Kejadian pencabutan kartu pers bukan hanya soal protokol. Ia adalah sinyal bahwa pertanyaan kritis tidak lagi dianggap sah.Â
Ketika jurnalis yang bertanya dengan sopan justru dibungkam, kita menghadapi bukan hanya krisis pangan, tapi juga krisis demokrasi.
- CNN Indonesia telah mengajukan klarifikasi resmi. Â
- Dewan Pers mengecam pencabutan sebagai pelanggaran etika komunikasi publik. Â
- IJTI dan komunitas jurnalis menyuarakan keprihatinan atas pembatasan ruang tanya yang sah.