Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Makanan Lokal sebagai Tulang Punggung Makan Bergizi Gratis

6 Oktober 2025   08:38 Diperbarui: 6 Oktober 2025   08:38 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makanan lokal solusi MBG,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI 

Dari Belanga ke urusan Bangsa

Di sebuah dapur sederhana sebuah desa di Ciamis, seorang ibu mengaduk pepes ikan dalam belanga tanah liat. Di luar, anak-anak berseragam putih merah berbaris rapi menunggu sepiring makan siang. Tidak ada catering mewah, tidak ada kemasan plastik berlogo kementerian. Yang ada hanya aroma rempah, tangan terampil, dan harapan yang dimasak perlahan.

Inilah semata wajah khayalan sejati dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), jika kita berani melihatnya dari akar, bukan dari amplop.

Mimpi Bergizi di Negeri Kaya Rasa

Diluncurkan pada Januari 2025, MBG adalah program ambisius pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menurunkan angka stunting, meningkatkan kualitas gizi anak-anak dan ibu hamil, serta mendorong ekonomi desa. 

Dengan anggaran Rp71 triliun dan target Rp8 miliar per desa per tahun, MBG menjadi program sosial terbesar dalam sejarah Indonesia.

Namun, pertanyaan mendasarnya bukan sekadar "berapa banyak yang diberi makan," melainkan "apa yang mereka makan?"

Makanan Lokal: Bukan Alternatif, Tapi Solusi

Indonesia bukan negara kekurangan pangan  kita hanya sering lupa bahwa kekayaan itu tumbuh di halaman sendiri. Menurut dr. Tan Shot Yen, 80% isi menu MBG sebaiknya diisi oleh pangan lokal khas daerah. Ini bukan sekadar romantisme kuliner, tapi strategi gizi berbasis konteks.

Di Papua, anak-anak tumbuh sehat dengan ikan kuah asam yang kaya protein dan omega-3. Di Sulawesi, kapurung, campuran tepung sagu, sayur, dan ikan  menjadi sumber karbohidrat kompleks dan serat. 

Di Maluku, papeda dan ikan bakar bukan hanya makanan, tapi warisan yang mengandung zat gizi mikro penting. Di Timor, jagung bose menyajikan serat, vitamin B, dan zat besi yang dibutuhkan ibu hamil dan balita. 

Dan di Sumatera Barat dan Riau, asam padeh ikan bukan sekadar lauk, tapi sumber antioksidan dari rempah yang telah diwariskan lintas generasi.

Makanan lokal seperti ini jauh lebih rendah gula dan garam dibanding produk ultraolahan. Ia mengandung serat, antioksidan, dan zat gizi mikro yang sesuai dengan kebutuhan lokal. 

Lebih dari itu, ia menyatu dengan kebiasaan makan anak dan ibu hamil di tiap daerah, tidak memaksakan rasa asing, tapi merawat selera yang sudah akrab.

Harga yang Masuk Akal, Rasa yang Tak Tertandingi

Dengan anggaran MBG sekitar Rp10.000 per porsi, makanan lokal sangat mungkin masuk tanpa mengorbankan kualitas. Nasi hangat dengan sayur dan telur kampung bisa disajikan dengan biaya sekitar Rp8.000. 

Jagung bose dengan ikan goreng hanya Rp9.000. Bandingkan dengan roti isi dan susu kotak yang bisa mencapai Rp12.000, atau mi instan dan sosis yang berkisar Rp10.500-, lebih mahal, tapi lebih miskin gizi.

Pangan lokal tidak hanya lebih murah, tapi juga memperkuat ekonomi desa. Ia bisa dibeli langsung dari petani, tanpa perantara industri besar. 

Ia tidak perlu transportasi jauh, tidak tergantung pada logistik pusat. Ia tumbuh di tanah sendiri, dimasak oleh tangan sendiri, dan dinikmati oleh anak-anak sendiri.

Daya Tahan: Segar Tanpa Basi

Tantangan MBG adalah waktu masak dan distribusi. Banyak makanan dimasak dini hari dan baru disajikan siang, meningkatkan risiko kontaminasi. Namun, makanan lokal punya solusi.

Pepes ikan dan nasi jagung, misalnya, bisa bertahan 6-8 jam tanpa pendingin. Sayur lodeh dan tempe goreng bisa tetap layak konsumsi hingga 4-6 jam jika dikemas dengan baik.

Teknik pengemasan tradisional seperti daun pisang atau belanga tanah liat bukan hanya ramah lingkungan, tapi juga menjaga suhu dan kesegaran.

Lebih dari itu, makanan lokal bisa disesuaikan dengan ritme sekolah dan komunitas. Distribusi bisa dilakukan langsung oleh dapur gizi desa atau sekolah, bukan melalui jalur sentralistik yang panjang dan lambat.

Capaian dan Catatan Luka

Hingga September 2025, MBG telah menjangkau 22,7 juta penerima manfaat di 7.644 SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Perputaran beras mencapai 5 ton per bulan per SPPG, membuka lapangan kerja baru dan menggerakkan koperasi desa.

Namun, di balik angka itu, tersimpan luka:

  • 6.452 kasus keracunan makanan terjadi di 18 provinsi.
  • Hanya 45% menu yang memenuhi standar gizi layak.
  • Distribusi tidak merata, terutama di wilayah 3T.
  • Belum ada regulasi formal seperti UU atau Perpres yang mengatur MBG secara nasional.

Program ini berjalan, tapi belum berlari. Ia memberi makan, tapi belum sepenuhnya memberi gizi.

Ancaman Korupsi: Ketika Dapur Tak Punya Jendela

Tanpa regulasi formal, MBG berisiko menjadi bancakan elite. Penunjukan mitra pelaksana dilakukan tanpa mekanisme terbuka. 

Beberapa yayasan pengelola MBG terindikasi memiliki afiliasi politik, yang menurut Ombudsman RI berisiko menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.

Sementara itu, di beberapa daerah, personel kepolisian termasuk satuan lalu lintas turut mengantar langsung makanan MBG ke sekolah-sekolah, melampaui fungsi institusional mereka sebagai pengatur lalu lintas.

Menurut Celios, skema sentralistik berisiko kebocoran anggaran hingga Rp8,52 triliun. Padahal, transfer langsung ke sekolah bisa menurunkan risiko korupsi hingga 2,5%.

Gratis bukan berarti tanpa biaya. Kadang, rakyat membayar dengan kepercayaan yang hilang.

Rekomendasi Strategis

1. Standarisasi Menu Lokal Bergizi  

   Libatkan ahli gizi dan komunitas kuliner daerah.

2. Transfer Dana Langsung ke Sekolah  

   Perkuat kontrol lokal dan kurangi birokrasi.

3. Audit Gizi dan Evaluasi Publik  

   Gunakan sistem pelaporan digital dan forum komunitas.

4. Regulasi Formal dan Transparansi Anggaran  

   Dorong lahirnya Perpres atau UU khusus MBG.

5. Pelibatan Komunitas dan Media Independen  

   Jadikan masyarakat sipil sebagai pengawas, bukan sekadar penerima.

Penutup: Dari Belanga ke Bangsa

Program MBG bisa menjadi revolusi gizi, tapi hanya jika kita berani kembali ke akar. 

Makanan lokal bukan sekadar warisan, ia adalah masa depan. Ia memberi gizi, harga yang masuk akal, dan rasa yang tak tertandingi. Ia menyatukan dapur dan bangsa.

Sepiring makan siang bukan sekadar urusan perut, tapi urusan keadilan. Dan keadilan, seperti pepes ikan dalam belanga, harus dimasak perlahan, dijaga dengan cinta, dan disajikan dengan terang.

Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)

________________________

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun