Makanan lokal seperti ini jauh lebih rendah gula dan garam dibanding produk ultraolahan. Ia mengandung serat, antioksidan, dan zat gizi mikro yang sesuai dengan kebutuhan lokal.Â
Lebih dari itu, ia menyatu dengan kebiasaan makan anak dan ibu hamil di tiap daerah, tidak memaksakan rasa asing, tapi merawat selera yang sudah akrab.
Harga yang Masuk Akal, Rasa yang Tak Tertandingi
Dengan anggaran MBG sekitar Rp10.000 per porsi, makanan lokal sangat mungkin masuk tanpa mengorbankan kualitas. Nasi hangat dengan sayur dan telur kampung bisa disajikan dengan biaya sekitar Rp8.000.Â
Jagung bose dengan ikan goreng hanya Rp9.000. Bandingkan dengan roti isi dan susu kotak yang bisa mencapai Rp12.000, atau mi instan dan sosis yang berkisar Rp10.500-, lebih mahal, tapi lebih miskin gizi.
Pangan lokal tidak hanya lebih murah, tapi juga memperkuat ekonomi desa. Ia bisa dibeli langsung dari petani, tanpa perantara industri besar.Â
Ia tidak perlu transportasi jauh, tidak tergantung pada logistik pusat. Ia tumbuh di tanah sendiri, dimasak oleh tangan sendiri, dan dinikmati oleh anak-anak sendiri.
Daya Tahan: Segar Tanpa Basi
Tantangan MBG adalah waktu masak dan distribusi. Banyak makanan dimasak dini hari dan baru disajikan siang, meningkatkan risiko kontaminasi. Namun, makanan lokal punya solusi.
Pepes ikan dan nasi jagung, misalnya, bisa bertahan 6-8 jam tanpa pendingin. Sayur lodeh dan tempe goreng bisa tetap layak konsumsi hingga 4-6 jam jika dikemas dengan baik.
Teknik pengemasan tradisional seperti daun pisang atau belanga tanah liat bukan hanya ramah lingkungan, tapi juga menjaga suhu dan kesegaran.