Modal Mengalir, Tapi Kepercayaan Tak Kembali
Pada Agustus lalu, Bisnis Indonesia Premium menulis bahwa KFC Indonesia, di bawah PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), "on track to profit." Harapan itu datang setelah suntikan modal Rp80 miliar dari Grup Salim dan Gelael Pratama, serta akuisisi 35% saham PT Jagonya Ayam Indonesia (JAI) oleh keluarga Haji Isam. Tapi di balik angka dan optimisme, ada cerita yang lebih kompleks.
Ketika Ayam Goreng Tak Lagi Sekadar Ayam Goreng
Dulu, KFC adalah tempat perayaan kecil-kecilan. Ulang tahun anak, traktiran teman, atau pelarian dari rutinitas. Ayam gorengnya bukan hanya soal rasa, tapi soal kenangan.Â
Namun kini, di tahun 2025, merek ini berdiri di persimpangan yang tak mudah: antara nostalgia dan tuntutan zaman.
Modal Mengalir, Tapi Bisnis Belum Pulih
Suntikan modal memang memperkuat struktur keuangan FAST. Grup Salim melalui DNET dan Gelael Pratama masing-masing menyuntikkan Rp40 miliar. Dana ini digunakan untuk pembelian persediaan dan kebutuhan operasional karyawan. Kepemilikan DNET pun naik menjadi 37,51%.
Di sisi lain, keluarga Haji Isam melalui PT Shankara Fortuna Nusantara, yang mayoritas dimiliki oleh putrinya, Liana Saputri mengakuisisi 35% saham JAI. Langkah ini memperkuat rantai pasok ayam olahan, menjanjikan efisiensi logistik dan sinergi bisnis makanan cepat saji.
Namun, data terbaru Semester I-2025 menunjukkan bahwa FAST masih mencatat kerugian bersih sebesar Rp138,75 miliar.Â
Meski angka ini turun dari Rp348,83 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya, penurunan tersebut lebih disebabkan oleh efisiensi biaya daripada pertumbuhan pendapatan. Bahkan, pendapatan justru turun 3,12% YoY, dari Rp2,48 triliun menjadi Rp2,40 triliun.
Total liabilitas perusahaan kini menyentuh Rp3,97 triliun, sementara ekuitas hanya tersisa Rp129,95 miliar. Laba bruto naik tipis dari Rp1,42 triliun menjadi Rp1,44 triliun, berkat penurunan beban pokok penjualan.
Modal menyentuh neraca, tapi belum menyentuh hati konsumen.
Reputasi yang Retak: Dari Boikot ke Penutupan Gerai
Sejak akhir 2023, KFC Indonesia menghadapi badai reputasi. Konflik Israel-Palestina memicu boikot terhadap merek asal AS. Fatwa MUI No. 83 Tahun 2023 memperkuat gelombang penolakan. Di media sosial, suara publik semakin lantang: "Sudah saatnya kita dukung produk lokal."
Dampaknya nyata:
- Penutupan 47 gerai sejak 2023 Â
- PHK terhadap 2.274 karyawan Â
- Tambahan 19 gerai ditutup dan 400 karyawan di-PHK per September 2025 Â
- Kerugian kuartal III-2024 sempat melonjak hingga Rp558,75 miliar, sebelum turun di semester berikutnya
Reputasi bukan sekadar citra. Ia adalah kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun, dan bisa runtuh dalam semalam.
Merek Lokal Menyalip di Tikungan
Sementara KFC berbenah, merek lokal seperti Sabana, Hisana, Ayam Geprek Bensu, dan D'Best O Chicken tumbuh subur. Mereka menawarkan harga terjangkau, rasa yang familiar, dan citra lokal yang lebih dekat dengan hati konsumen.
Di beberapa daerah, bahkan muncul "KFC" versi lokal seperti Klaten Fried Chicken, bukan sekadar plesetan, tapi simbol pergeseran selera dan identitas.
Strategi Pemulihan: Taktis, Belum Menyentuh Narasi
FAST mencoba bangkit:
- Menutup gerai yang tidak produktif Â
- Memperkuat kanal digital dan promosi Â
- Menjalin kemitraan dengan layanan pengantaran Â
- Menegaskan komitmen terhadap tenaga kerja lokal
Namun, belum ada repositioning merek yang menyentuh akar reputasi. Belum ada inovasi menu yang menjawab tren makanan sehat. Belum ada transformasi pengalaman pelanggan yang menyentuh emosi.
Digitalisasi tanpa narasi adalah promosi kosong.
Di Persimpangan Narasi
KFC Indonesia kini berdiri di persimpangan: antara kenangan masa kecil dan tuntutan etis masa kini. Sebagian anak muda masih menyukai merek ini, Top Brand Index 2025 menempatkan KFC di posisi teratas dengan skor 27,5%.Â
Tapi loyalitas emosional tak cukup untuk menahan gelombang kesadaran sosial yang menuntut kejelasan posisi dan keberpihakan.
Reputasi bukan sekadar soal rasa ayam goreng. Ia adalah soal nilai, narasi, dan keberanian untuk berubah.
Penutup: Dari Modal ke Makna
Suntikan modal adalah fondasi, bukan solusi. KFC Indonesia perlu:
- Reposisi naratif yang jujur dan berpihak
- Transformasi pengalaman pelanggan Â
- Inovasi menu dan nilai Â
- Keberanian untuk berubah, bukan sekadar bertahan
Karena di era kesadaran sosial, merek bukan hanya soal produk. Ia adalah cermin dari siapa kita, dan apa yang kita perjuangkan.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
_________________________
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI