Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, tak ada yang bisa menandingi gaung nama KFC (Kentucky Fried Chicken) di hati pencinta ayam goreng Indonesia. Anak-anak menganggapnya surganya ulang tahun, orang tua menjadikannya pilihan makan praktis di akhir pekan, dan siapa pun tahu: ayam dengan lapisan kulit renyah khas itu punya tempat tersendiri di lidah masyarakat.
Namun waktu terus berjalan, dan zaman berubah. Data terakhir menunjukkan kerugian PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST)---pemilik tunggal waralaba KFC di Indonesia---melonjak hingga 91% pada akhir 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Ya, bukan 9,1 persen, tapi sembilan puluh satu persen!
Sebagai orang yang tumbuh bersama tren makanan cepat saji dan kini menyaksikan pasang surutnya dari balik kacamata pensiunan gaul yang masih aktif, saya merasa perlu merenung: apa yang sebenarnya terjadi dengan bisnis ayam goreng legendaris ini? Dan mungkinkah mereka bangkit kembali?
Kerugian ini tentu bukan sekadar angka. Ia adalah cerminan dari persoalan besar: mulai dari naiknya harga bahan baku, meningkatnya biaya operasional akibat UMR yang terus naik, hingga tantangan digital yang belum sepenuhnya diatasi oleh KFC Indonesia.
Sementara di luar sana, pemain lokal bermunculan. Mereka gesit, adaptif, dan cerdas menggandeng generasi muda melalui media sosial.Â
Di saat KFC masih fokus pada outlet megah di pusat perbelanjaan, yang lain sudah masuk ke gang-gang kecil lewat cloud kitchen, GoFood, dan TikTok.
Menengok Fakta: Ketika Sang Raja Ayam Goreng Terpukul Hebat
Meski sudah dijelaskan berbagai upaya strategis yang dilakukan oleh manajemen FAST, kenyataan di lapangan tetap mencengangkan. KFC Indonesia, yang pernah begitu mendominasi pasar ayam goreng siap saji, kini mengalami nasib naas: mencatatkan kerugian besar hingga Rp 344,47 miliar pada 2024, naik 91% dari tahun sebelumnya.Â
Dampaknya pun tak main-main: sebanyak 47 gerai ditutup, 2.274 karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan harga saham FAST sempat terperosok ke titik terendah sepanjang sejarah perdagangannya.
Pukulan demi pukulan ini menjadi peringatan keras bahwa nama besar saja tak cukup untuk bertahan di tengah badai perubahan perilaku konsumen, persaingan ketat, dan tekanan ekonomi makro.Â
Namun demikian, Â justru di tengah kondisi inilah, peluang untuk bangkit dan membangun kembali fondasi bisnis bisa ditemukan---asal tidak sekadar melakukan tambal sulam strategi.
Langkah-Langkah Pemulihan: Obat atau Tambal Sulam?