Setiap tahun, bangsa ini berbangga menyebut bahwa 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk sektor pendidikan. Angka fantastis itu sering dijadikan bukti komitmen pemerintah pada dunia pendidikan. Namun, di balik retorika optimisme itu, tersimpan ironi: sebagian besar anggaran justru terserap untuk membayar gaji dan tunjangan guru.
Tidak sedikit yang kemudian menyebut guru sebagai "beban negara." Benar, guru menyedot anggaran besar. Tetapi pertanyaan mendasarnya: apakah uang yang membengkak itu benar-benar berbanding lurus dengan kesejahteraan dan martabat guru?
Beban Anggaran, Beban Perhatian
Di atas kertas, gaji dan tunjangan guru memang terlihat menelan belanja negara. Namun, fakta di lapangan menunjukkan jurang lebar antara angka anggaran dan realitas kesejahteraan. Masih banyak guru honorer yang digaji setara atau bahkan lebih rendah dari upah buruh harian. Ada guru yang pulang dari kelas bukan membawa kebanggaan, melainkan keresahan karena honor yang tak cukup menutup biaya hidup.
Guru ASN sekalipun, yang relatif lebih mapan, kerap harus bergulat dengan beban administrasi yang mencekik. Profesi pendidik diperlakukan seperti juru ketik, sibuk memenuhi laporan dan verifikasi, alih-alih fokus pada inti peran: mendidik dan menanamkan nilai. Di sinilah letak paradoks: negara rela membayar mahal, tetapi tidak rela merawat martabat.
Jika guru dianggap beban negara, maka jelas negara memperlakukan beban ini dengan setengah hati. Beban anggaran tidak sepadan dengan perhatian dan perlakuan yang layak.
Pahlawan Tanpa Harga
Slogan "guru pahlawan tanpa tanda jasa" sudah lama berubah menjadi paradoks pahit. Negara dengan mudah menjadikan jargon itu sebagai pembenaran untuk membiarkan guru hidup dalam keterbatasan. Ironi ini makin menonjol ketika guru masih harus menunggu belas kasihan politik untuk diangkat statusnya.
Ribuan guru honorer bertahun-tahun menggantungkan harapan pada seleksi ASN, yang kerap berubah-ubah regulasi sesuai arah angin kekuasaan. Janji kesejahteraan hanya mampir di panggung kampanye, namun sirna ketika politik berganti rezim. Bukankah lebih tepat menyebutnya pahlawan yang diperlakukan tanpa harga?
Padahal, guru tidak pernah menuntut lebih dari yang wajar: penghargaan yang manusiawi, kesejahteraan yang layak, dan ruang untuk benar-benar mendidik tanpa dipasung birokrasi.
Ironi Angka dan Kualitas