Mohon tunggu...
Yana Karyana
Yana Karyana Mohon Tunggu... Aktivis konsen dalam kajian Politik, Pendidikan dan Hukum

Aktif sebagai Dosen dan mengabdi dibeberapa organisasi,Pengurus DPP PK-Tren Indonesia, Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama [Pergunu], Ketua MWC NU Jati Uwung/Cibodas, Wakil Sekretaris PCNU Kota Tangerang/Milanisti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru: Anggaran Membengkak, Kesejahteraan Mengempis

19 Agustus 2025   12:17 Diperbarui: 19 Agustus 2025   12:28 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru beban negara, benar kah? (Tribunsumsel.com)

Setiap tahun, bangsa ini berbangga menyebut bahwa 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk sektor pendidikan. Angka fantastis itu sering dijadikan bukti komitmen pemerintah pada dunia pendidikan. Namun, di balik retorika optimisme itu, tersimpan ironi: sebagian besar anggaran justru terserap untuk membayar gaji dan tunjangan guru.

Tidak sedikit yang kemudian menyebut guru sebagai "beban negara." Benar, guru menyedot anggaran besar. Tetapi pertanyaan mendasarnya: apakah uang yang membengkak itu benar-benar berbanding lurus dengan kesejahteraan dan martabat guru?

Beban Anggaran, Beban Perhatian

Di atas kertas, gaji dan tunjangan guru memang terlihat menelan belanja negara. Namun, fakta di lapangan menunjukkan jurang lebar antara angka anggaran dan realitas kesejahteraan. Masih banyak guru honorer yang digaji setara atau bahkan lebih rendah dari upah buruh harian. Ada guru yang pulang dari kelas bukan membawa kebanggaan, melainkan keresahan karena honor yang tak cukup menutup biaya hidup.

Guru ASN sekalipun, yang relatif lebih mapan, kerap harus bergulat dengan beban administrasi yang mencekik. Profesi pendidik diperlakukan seperti juru ketik, sibuk memenuhi laporan dan verifikasi, alih-alih fokus pada inti peran: mendidik dan menanamkan nilai. Di sinilah letak paradoks: negara rela membayar mahal, tetapi tidak rela merawat martabat.

Jika guru dianggap beban negara, maka jelas negara memperlakukan beban ini dengan setengah hati. Beban anggaran tidak sepadan dengan perhatian dan perlakuan yang layak.

Pahlawan Tanpa Harga

Slogan "guru pahlawan tanpa tanda jasa" sudah lama berubah menjadi paradoks pahit. Negara dengan mudah menjadikan jargon itu sebagai pembenaran untuk membiarkan guru hidup dalam keterbatasan. Ironi ini makin menonjol ketika guru masih harus menunggu belas kasihan politik untuk diangkat statusnya.

Ribuan guru honorer bertahun-tahun menggantungkan harapan pada seleksi ASN, yang kerap berubah-ubah regulasi sesuai arah angin kekuasaan. Janji kesejahteraan hanya mampir di panggung kampanye, namun sirna ketika politik berganti rezim. Bukankah lebih tepat menyebutnya pahlawan yang diperlakukan tanpa harga?

Padahal, guru tidak pernah menuntut lebih dari yang wajar: penghargaan yang manusiawi, kesejahteraan yang layak, dan ruang untuk benar-benar mendidik tanpa dipasung birokrasi.

Ironi Angka dan Kualitas

Kita pun perlu bertanya: apa arti anggaran pendidikan ratusan triliun bila kualitas pendidikan tetap terseok? Indonesia masih tertinggal dalam berbagai survei internasional, mulai dari literasi, numerasi, hingga kompetensi dasar. Apakah berarti guru gagal? Tidak sesederhana itu.

Yang gagal adalah cara negara memperlakukan investasi pada guru. Alih-alih membekali dengan pelatihan yang relevan, banyak program justru bersifat seremonial dan proyek jangka pendek. Alih-alih membebaskan guru untuk berinovasi, mereka justru dipaksa tunduk pada regulasi kaku yang menguras energi.

Dengan kata lain, yang membengkak bukan hanya anggaran, tetapi juga lapisan birokrasi yang menindih profesi guru.

Beban Mulia

Guru memang beban negara, tetapi beban yang paling mulia. Dari pundak merekalah lahir generasi penerus bangsa: dokter, insinyur, ulama, politisi, hingga presiden. Tidak ada satu profesi pun yang bisa hadir tanpa sentuhan guru.

Maka, menyebut guru sebagai beban seharusnya menjadi pengingat bahwa negara wajib menanggungnya dengan penuh kesungguhan. Sebab, jika beban ini dipikul asal-asalan, maka yang runtuh bukan hanya kesejahteraan guru, melainkan juga masa depan bangsa.

Beban sesungguhnya bukan pada anggaran untuk guru, melainkan pada ketidakseriusan negara merawat profesi ini. Negara mengeluh biaya guru membengkak, padahal yang jauh lebih berbahaya adalah ketika kualitas pendidikan merosot karena guru terus diabaikan.

Penutup

Guru tidak pernah meminta dihormati dengan gelar muluk-muluk. Mereka hanya meminta negara bersungguh-sungguh. Jika pemerintah mengaku telah menggelontorkan anggaran besar, maka pastikan itu benar-benar menjangkau kesejahteraan, pengembangan kapasitas, dan kemerdekaan guru dalam mendidik.

Bangsa ini bisa saja berhemat di sektor lain, tetapi mengabaikan guru sama saja menggali jurang kehancuran. Guru boleh disebut beban, tetapi beban yang menjadi fondasi peradaban. Dan celakanya, hingga kini negara lebih sibuk menghitung beban anggaran ketimbang menghormati beban mulia itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun