Tulisan ini sudah saya siapkan sejak Engkong Felix mengeluarkan artikel legendarisnya yang langsung disambut ratusan komentar, sebagian mendukung, sebagian membully, sebagian bingung, dan sebagian lagi mungkin hanya mampir karena penasaran apakah ini akan jadi rekor komentar terbanyak Kompasiana of The Year.Â
Saya diam. Saya sabar. Saya bahkan sempat menunggu headline mampir ke artikel saya seperti mantan yang katanya masih sayang.Â
Tapi sejak artikel itu tayang... headline pun tak lagi menyinggahi saya. Seperti mantan yang sudah ganti nomor dan pindah kota.
Setelah air mata saya terkuras habis, bukan karena cinta, tapi karena algoritma, akhirnya saya tayangkan juga tulisan ini. Bukan untuk mengadu nasib, tapi untuk mengadu logika.
Saya Menulis Bukan Karena Nyaman (Tapi Karena Sudah Terlanjur Sayang)
Saya menulis bukan karena saya nyaman. Saya menulis karena saya peduli. Dan saya tidak akan berhenti beramal melalui tulisan. Karena bagi saya, menulis adalah bentuk keberpihakan, bukan mengharapkan Headline, apalagi K-Reward.
Dan keberpihakan itu harus tetap hidup, meski suara kita kadang bikin sebagian orang gatal ingin unfollow.
Saya tahu, tulisan saya bisa memicu reaksi. Saya tahu, ada yang merasa terganggu. Dan saat ini, sebagian komentar adalah wujud pembullyan dan pengeroyokan digital. Saya ikhlas dan ridha.Â
Baca juga: Kompasiana: Rumah yang Ingin Kita Rawat Bersama (Respon Berita Angin Kebangkrutan Kompasiana)Karena saya tahu, suara yang jernih kadang mengganggu kenyamanan yang sudah mapan, apalagi kalau kenyamanan itu sudah dilengkapi fitur AU otomatis dan K-Reward bulanan.
Hikmah dari Dibully: Ternyata Banyak yang Lupa Pernah Jadi Korban