Transformasi Kepemudaan dan Prestasi Olahraga dalam Kabinet Merah Putih
Pada sore yang tenang hari ini disertai hujan bulan September 2025, sebuah pengumuman dari Istana Negara mengguncang lanskap birokrasi Indonesia: Erick Thohir, sosok yang selama ini identik dengan reformasi BUMN, resmi dilantik sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).Â
Bukan sekadar rotasi jabatan, ini adalah pergeseran paradigma. Dari logika korporat ke ekosistem sosial. Dari laba finansial ke laba sosial. Dari efisiensi ke empati.
Dari BUMN ke Kemenpora: Sebuah Transisi yang Sarat Makna
Erick Thohir bukan nama asing. Ia adalah arsitek di balik transformasi BUMN, penggerak Asian Games 2018, dan Ketua Umum PSSI yang tengah memulihkan reputasi sepak bola nasional.Â
Namun, jabatan Menpora bukan hanya tentang olahraga. Ia adalah tentang masa depan bangsa, tentang pemuda, karakter, dan arah sejarah.
Dengan latar belakang sebagai pemilik klub Inter Milan, DC United, dan Oxford United, serta anggota IOC dan FIBA, Erick membawa jejaring global yang langka.Â
Tapi tantangan di Kemenpora jauh lebih kompleks: fragmentasi kelembagaan, minimnya anggaran, resistensi budaya, dan krisis representasi pemuda.
Data dan Fakta: Potret Awal yang Perlu Dibenahi
- Anggaran Kemenpora 2025: Rp2,3 triliun untuk seluruh program olahraga dan kepemudaan. Bandingkan dengan anggaran Kementerian PUPR yang mencapai Rp140 triliun.
- Jumlah organisasi olahraga terdaftar: 73 induk cabang, belum termasuk komunitas dan akademi informal.
- Pemuda Indonesia (usia 16--30): 64 juta jiwa, mayoritas berada di luar Jawa dan belum terjangkau program strategis Kemenpora.
- Regulasi kontroversial: Permenpora No. 14/2024 yang membatasi pendanaan dan pelantikan pengurus KONI, memicu protes dan ancaman sanksi dari IOC.
Tantangan Strategis: Dari Fragmentasi ke Integrasi
Erick menghadapi empat tantangan utama: