- Pak Dhimas Raditya Lustiono, seorang ayah dua anak, menulis di tengah malam demi harapan mendapat K-Rewards untuk membeli susu dan bensin. "Saya memulai menulis di jam 10 malam, kadang selesai lebih dari jam 12... semoga Admin Kompasiana benar-benar memberikan respon yang baik." Ini bukan sekadar literasi, ini perjuangan hidup.
- Bu Berliana Nurhaliza Kusumah menyampaikan dengan jernih, "Tanda-tanda Kompasiana mau bangkrut adalah makin sedikitnya Kompasianer yang dapat Gopay dan sering telat kirimnya... lihat saja yang dulu sering nulis sekarang sudah tidak ada." Sebuah refleksi tentang hilangnya semangat karena sistem yang tak lagi berpihak.
- Pak Doktor Amidi menulis dengan pilu, "Jika benar Kompasiana bangkrut... kita berharap ada suntikan dana dari petinggi yang masih ada hati." Beliau tetap menyempatkan menulis, karena cinta tak mengenal lelah.
- OmJay (DR. Wijaya Kusumah) mengajak, "Mari belajar dari Kang Pepih Nugraha dan Bang Isjet dalam mengelola Kompasiana." Sebuah seruan untuk kembali pada nilai-nilai awal: kejujuran, keberpihakan, dan komunikasi terbuka.
- Pak Wahid Azar mengingatkan, "Dari Kompasiana inilah kami belajar dan punya semangat untuk menulis... literasi yang kuat tidak mempermasalahkan keahlian dan bidang apa." Kompasiana adalah ruang inklusif, bukan ruang eksklusif.
- Engkong Felix Tani menyindir dengan jenaka, "Kompasianer itu senasib mitra ojol sebenarnya, tetap setia walau tekor." Sebuah humor yang menyimpan kebenaran pahit.
Menyambut Revamp dan Harapan Baru
Pak Nurulloh juga menyampaikan bahwa Kompasiana sedang menjalani proses revamp menyeluruh, dari UI/UX hingga pengelolaan komunitas dan konten.Â
Kami menyambut rencana ini dengan semangat, dan berharap agar perbaikan ini tidak hanya teknis, tapi juga etis dan komunikatif.
Namun harapan kami sebagai komunitas penulis tetap jelas:
- Komunikasi yang Jujur dan Terbuka Â
Kompasianer bukan sekadar pengguna, melainkan mitra strategis. Maka komunikasi harus dibangun dengan kejujuran, bukan sekadar notifikasi.