Kebijakan PPh 21 Ditanggung Pemerintah untuk sektor Horeka dinilai tidak adil oleh pekerja lintas sektor. Artikel ini mengulas dampaknya terhadap keadilan sosial, daya beli, dan ketimpangan fiskal di Indonesia.
Ketika Pajak Menjadi Cermin Martabat
Di sebuah sudut kedai kopi Bintaro Jaya, seorang barista muda menyambut kabar gembira: gajinya bulan depan tak akan dipotong pajak.Â
Pemerintah menanggung PPh 21 untuk pekerja sektor hotel, restoran, dan kafe. Di meja sebelah, seorang guru les privat hanya tersenyum pahit. Ia juga bekerja keras, juga berpenghasilan rendah, tapi tidak masuk dalam daftar penerima insentif.
Kisah ini bukan sekadar percakapan ringan. Ia adalah potret kecil dari ketegangan besar: antara logika fiskal dan empati sosial, antara selektivitas kebijakan dan harapan akan keadilan.
Data Pekerja Indonesia: Siapa yang Terlihat, Siapa yang Terlupakan?
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki lebih dari 143 juta pekerja aktif per Februari 2025. Sekitar 59% berada di sektor informal, seperti: guru les, pengemudi daring, pedagang kecil, hingga pekerja kreatif digital. Mereka berkontribusi besar terhadap konsumsi domestik, namun sering luput dari radar kebijakan fiskal.
Sementara itu, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.189 triliun tahun ini. Untuk mencapainya, sektor jasa dan digital mulai dilirik sebagai ladang pajak baru.Â
Ironisnya, insentif PPh 21 justru diberikan secara selektif kepada sektor Horeka dan padat karya.
Logika Fiskal vs Keadilan Sosial: Di Mana Titik Temunya?
Kebijakan PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) memang bertujuan mulia: menjaga daya beli dan mendorong pemulihan ekonomi. Namun, pendekatan sektoral ini menyisakan pertanyaan mendasar:
- Mengapa hanya sektor Horeka yang mendapat insentif, padahal banyak pekerja sektor lain juga berpenghasilan rendah?
- Apakah keadilan fiskal hanya soal efisiensi, atau juga soal inklusi dan pengakuan?
Pekerja sektor pendidikan nonformal, transportasi daring, retail kecil, dan jasa digital, semuanya terdampak inflasi dan stagnasi upah. Mereka juga berjuang menjaga martabat hidup, namun tidak masuk dalam skema insentif.
Dampak Sosial: Keirian, Ketimpangan, dan Penurunan Moral