"Dana pemerintah bukan untuk bermain di pasar, tapi untuk menghidupkan sektor riil."Â
Kalimat ini bukan sekadar prinsip fiskal, melainkan koreksi arah sejarah ekonomi yang terlalu lama tersandera oleh kenyamanan sistem.
Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melarang bank-bank penerima dana Rp200 triliun untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN), ia tidak hanya mengeluarkan diktum teknis. Ia sedang membongkar salah satu praktik fiskal paling mapan dan paling steril dari keberpihakan.
Selama bertahun-tahun, dana pemerintah yang seharusnya menjadi darah segar bagi ekonomi rakyat justru diparkir di instrumen keuangan yang aman dan berbunga.Â
SBN menjadi tempat berlindung yang menguntungkan bagi bank dan pemerintah, tapi sekaligus menjauhkan uang negara dari warung, bengkel, konveksi, dan sawah.Â
Sektor riil dibiarkan megap-megap, sementara neraca keuangan terlihat sehat. Ini adalah anomali likuiditas yang membuat ekonomi tampak bergerak, padahal denyutnya lemah.
Bubble Gum Economy: Pertumbuhan yang Dikunyah, Bukan Dicerna
Kebijakan fiskal yang terlalu lama bergantung pada instrumen pasar seperti SBN telah melahirkan apa yang disebut oleh sebagian ekonom sebagai bubble gum economy, yaitu ekonomi yang tampak manis, elastis, dan terus dikunyah, tapi tidak pernah benar-benar dicerna oleh rakyat.Â
Ia menghasilkan angka pertumbuhan, tapi tidak menciptakan nilai. Ia mempercantik laporan, tapi tidak memperbaiki dapur.
Dalam bubble gum economy, uang berputar di antara institusi keuangan, investor, dan pemerintah, tapi tidak pernah menyentuh tangan petani, pedagang kecil, atau buruh pabrik. Yang terjadi adalah ilusi likuiditas: neraca bank gemuk, tapi pasar rakyat kurus.Â
Dan ketika inflasi menggila, daya beli kolaps, dan PHK meluas, kita tahu bahwa permen karet itu sudah kehilangan rasa.