Refleksi Nilai: Menulis Manual sebagai Praktik Budaya
Buku catatan yang ia bawa ke kafe, hutan, kendaraan, dan di berbagai lokasi aktivitasnya, bahkan kabin pesawat, menjadi simbol bahwa refleksi masih punya tempat.Â
Nanon menulis bukan untuk tampil, tapi untuk hadir. Ia mencatat bukan untuk viral, tapi untuk memahami.
Di tengah dunia yang serba cepat dan serba publik, praktik menulis manual menjadi ruang sunyi untuk berpikir, merasakan, dan menyusun ulang dunia. Ia melatih fokus, memperkuat memori, dan menyimpan jejak emosi yang tak bisa ditiru oleh mesin.Â
Dalam konteks budaya Asia Tenggara, buku catatan adalah warisan dari kitab petuah, buku harian pelajar, hingga arsip spiritual.Â
Nanon melanjutkan tradisi itu, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai bentuk keberanian untuk tetap jujur.
Visual yang Berbicara: Kolase sebagai Arsip Reflektif
Sebuah kolase visual yang memperlihatkan Nanon menulis dan membaca di berbagai tempat, di kafe, di hutan, di kendaraan, di ruang kreatif, bahkan di kabin pesawat dan saat dia sedang mengisi New York Fashion Week telah beredar luas melalui unggahan editorial @lofficielmy.Â
Setiap frame bukan sekadar dokumentasi, tapi peta refleksi generasi muda yang menolak larut dalam digitalisasi.
Di alam terbuka, menulis menjadi cara menyatu dengan semesta. Â Di kendaraan dan pesawat, buku menjadi jangkar identitas di tengah mobilitas. Â
Di ruang kreatif, ia menjadi wadah gagasan, bukan sekadar dokumentasi. Â Di tempat publik, menulis menjadi bentuk keberanian untuk hadir tanpa harus tampil.