Di tengah dunia yang semakin terhubung oleh layar, algoritma, dan kecepatan instan, seorang anak muda dari Thailand diam-diam membawa oase kecil ke ruang-ruang publik: sebuah buku catatan.Â
Nanon bukan sekadar artis, tapi cerminan generasi yang masih percaya bahwa kedalaman tak bisa digantikan oleh kecepatan.Â
Namanya Nanon Korapat Kirdpan, seorang aktor, penyanyi, dan ikon global yang menjadi wajah Coach New York di ajang New York Fashion Week dua tahun berturut-turut.
Baru-baru ini, sebuah potongan video dari kabin pesawat malam menuju New York memperlihatkan Nanon duduk tenang, menulis di buku catatannya. Tidak ada kamera, tidak ada panggung. Hanya cahaya biru kabin dan lembaran yang ia isi dengan pikiran.Â
Baca juga: Menulis Buku Catatan Kehidupan
Di era di mana anak muda lebih akrab dengan swipe dan scroll, gestur ini menjadi manifesto diam tentang kehadiran, refleksi, dan keberanian untuk tetap utuh.
Dari Layar ke Lembar: Jejak Karya dan Keintiman
Nanon bukan nama asing di dunia hiburan Asia. Ia mencuri perhatian lewat serial seperti The Gifted, Blacklist, Bad Buddy, dan film My Precious, yang membuktikan kepiawaiannya dalam menyampaikan emosi dan kompleksitas karakter. Ia sudah menjadi bintang iklan sejak berusia 3 bulan.
Di dunia musik, albumnya The Secrets of The Universe dan lagu-lagu seperti Knock Knock menghiasi Spotify dan menjadi suara batin generasi muda.
Sebagai Friend of Coach Asia Tenggara, Nanon bukan hanya wajah mode, tapi juga representasi nilai. Coach, sebagai label asal New York, memilihnya karena semangat autentisitas dan ekspresi diri yang ia bawa.Â
Di runway New York Fashion Week, ia tampil dengan gaya 90-an yang kasual namun penuh karakter.Â
Tapi yang lebih penting dari outfit-nya adalah nilai yang ia bawa: bahwa menjadi muda bukan berarti kehilangan kedalaman.
Refleksi Nilai: Menulis Manual sebagai Praktik Budaya
Buku catatan yang ia bawa ke kafe, hutan, kendaraan, dan di berbagai lokasi aktivitasnya, bahkan kabin pesawat, menjadi simbol bahwa refleksi masih punya tempat.Â
Nanon menulis bukan untuk tampil, tapi untuk hadir. Ia mencatat bukan untuk viral, tapi untuk memahami.
Di tengah dunia yang serba cepat dan serba publik, praktik menulis manual menjadi ruang sunyi untuk berpikir, merasakan, dan menyusun ulang dunia. Ia melatih fokus, memperkuat memori, dan menyimpan jejak emosi yang tak bisa ditiru oleh mesin.Â
Dalam konteks budaya Asia Tenggara, buku catatan adalah warisan dari kitab petuah, buku harian pelajar, hingga arsip spiritual.Â
Nanon melanjutkan tradisi itu, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai bentuk keberanian untuk tetap jujur.
Visual yang Berbicara: Kolase sebagai Arsip Reflektif
Sebuah kolase visual yang memperlihatkan Nanon menulis dan membaca di berbagai tempat, di kafe, di hutan, di kendaraan, di ruang kreatif, bahkan di kabin pesawat dan saat dia sedang mengisi New York Fashion Week telah beredar luas melalui unggahan editorial @lofficielmy.Â
Setiap frame bukan sekadar dokumentasi, tapi peta refleksi generasi muda yang menolak larut dalam digitalisasi.
Di alam terbuka, menulis menjadi cara menyatu dengan semesta. Â Di kendaraan dan pesawat, buku menjadi jangkar identitas di tengah mobilitas. Â
Di ruang kreatif, ia menjadi wadah gagasan, bukan sekadar dokumentasi. Â Di tempat publik, menulis menjadi bentuk keberanian untuk hadir tanpa harus tampil.
Kolase ini memperluas makna dari artikel ini: bahwa praktik menulis manual bukan hanya milik masa lalu, tapi sedang dihidupkan kembali oleh generasi yang memilih kedalaman di tengah sorotan.
Penutup: Cermin untuk Generasi Muda
Kisah Nanon adalah undangan bagi generasi muda untuk kembali ke akar refleksi. Ia menunjukkan bahwa menjadi relevan tak harus kehilangan kedalaman. Bahwa di tengah sorotan kamera dan glamor industri, masih ada ruang untuk keintiman dan kejujuran. Kisah Nanon adalah undangan bagi generasi muda untuk kembali ke akar refleksi. Ia menunjukkan bahwa menjadi relevan tak harus kehilangan kedalaman. Bahwa di tengah sorotan kamera dan glamor industri, masih ada ruang untuk keintiman dan kejujuran.Â
Buku catatan di pangkuannya bukan sekadar alat, tapi pernyataan: bahwa refleksi, kehadiran, dan kesadaran diri tetap relevan di era digital.
Di antara layar dan lembar, Nanon memilih lembar. Dan mungkin, kita pun bisa mulai membuka kembali halaman-halaman yang pernah kita tinggalkan.
Penulis: Merza GamalÂ
(Pensiunan Gaul Banyak Acara, Penulis Buku "Mempersiapkan Gen Alpha Memasuki Dunia Kerja Sejak Dini-Mereduksi Kesalahan Generasi Sebelumnya terhadap Gen Z")
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI