Ada satu rasa yang tak kunjung saya temukan kembali, meski langkah kaki telah menjejak lebih dari 500 kabupaten di seluruh pelosok Nusantara. Bukan rasa eksotis dari pegunungan Papua, bukan pula aroma rempah dari dapur Minang.Â
Yang saya cari adalah semangkuk bubur sederhana, hangat, gurih, dan penuh kejutan laut: Bubur Sanpan.
Saya pertama kali mengenalnya bukan di warung rakyat atau pasar tradisional, melainkan di ruang sarapan sebuah hotel berbintang di Bengkulu.Â
Di antara deretan roti, sereal, dan bubur ayam standar, Bubur Sanpan hadir diam-diam tanpa klaim, tanpa pamflet, hanya lewat sendok yang menyentuh lidah dan membangkitkan rasa penasaran.Â
Bubur ini bukan sekadar nasi lembut berkuah santan. Ia berisikan teri, udang, dan ikan kecil yang seolah menyimpan cerita pesisir. Rasanya khas, gurih, dan tak bisa dibandingkan dengan bubur manapun yang pernah saya cicipi, bahkan setelah menjelajah seluruh provinsi di Indonesia.
Namun, rasa itu hanya singgah sebentar. Di kunjungan berikutnya, Bubur Sanpan tak saya temukan. Saya bertanya, mencari, bahkan berharap ia muncul kembali di hotel berbeda tempat saya menginap.Â
Saya cari di warung pinggir jalan, atau di dapur masyarakat Bengkulu. Tapi tak ada jejak. Tak ada dokumentasi. Tak ada yang mengenalnya di luar ruang sarapan hotel itu.
Cerita di Balik Nama "Sanpan"
Nama "Sanpan" sendiri memicu rasa ingin tahu. Ia terdengar seperti pelesetan dari "sampan"---perahu kecil yang biasa digunakan nelayan pesisir.Â
Bisa jadi, bubur ini adalah metafora rasa dari laut Bengkulu yang diangkut ke meja sarapan melalui sendok dan mangkuk. Atau mungkin "Sanpan" adalah istilah dapur internal, nama kreasi koki lokal yang tak sempat masuk arsip.Â
Yang jelas, nama ini belum ditemukan dalam dokumentasi kuliner resmi Bengkulu, menjadikannya sebagai kuliner hotelistik yang hidup sebentar lalu hilang.