Kita butuh sistem yang melatih manusia utuh yang bisa berpikir kritis, merasakan dalam, dan bertindak bijak. Bukan hanya profesional yang efisien, tapi warga yang reflektif. Bukan hanya pencari kerja, tapi pencipta makna.
Tantangan yang Tak Bisa Diabaikan
Tentu, transformasi ini tidak mudah. Banyak guru di pelosok belum terlatih teknologi. Banyak siswa di daerah terpencil kesulitan mengakses pembelajaran daring. Banyak sekolah masih berdiri tanpa laboratorium, tanpa internet, bahkan tanpa ruang yang layak.
Di kota-kota besar pun, anak-anak dari keluarga miskin harus bekerja sambilan demi bisa tetap sekolah. Kurikulum masih terlalu padat, terlalu teknis, dan terlalu jauh dari kenyataan hidup.
Ini bukan sekadar masalah teknis. Ini adalah soal keadilan, visi, dan keberanian untuk mendesain ulang masa depan.
Pendidikan yang Menyeimbangkan Teknologi dan Kebijaksanaan
Bisakah kita merancang kurikulum yang menyeimbangkan antara kompetensi teknis dan kebijaksanaan sosial?
Bayangkan sebuah sistem pendidikan di mana anak-anak belajar literasi AI dan analisis data, tapi juga diajak memahami sejarah lokal, spiritualitas, dan etika publik.Â
Di mana metode belajar tidak hanya berupa ujian, tapi proyek lintas disiplin, mentoring, dan simulasi kehidupan nyata. Di mana penilaian tidak hanya angka, tapi portofolio, refleksi naratif, dan kontribusi sosial.
Pendidikan bukan hanya tentang "siap kerja", tapi tentang "siap hidup".
Epilog: Dari Gelar ke Jejak