Pengacara: Penjaga Pasal atau Penafsir Keadilan?
Di dunia hukum, perubahan tak kalah dramatis. Dulu, pengacara adalah penjaga logika, pengurai pasal, dan penggali preseden. Tapi kini, AI bisa membaca ribuan dokumen hukum dalam hitungan detik, menyusun argumen hukum berdasarkan yurisprudensi global, bahkan memprediksi hasil sidang berdasarkan pola keputusan hakim.
Di Amerika Serikat, firma hukum besar sudah menggunakan AI untuk menyaring bukti, menyiapkan gugatan, dan menilai risiko hukum. Di Inggris, sistem AI digunakan untuk menyusun kontrak dan mediasi daring. Di Indonesia, meski belum masif, tren ini mulai merayap---dari chatbot hukum hingga analisis dokumen berbasis machine learning.
Namun, seperti halnya dokter, pengacara bukan sekadar profesi teknis. Ia adalah penjaga keadilan, penafsir nilai, dan pelindung hak-hak yang tak tertulis. AI bisa menyusun argumen, tapi tidak bisa merasakan ketidakadilan. Ia bisa membaca pasal, tapi tidak bisa menangis bersama korban.
Pendidikan Hukum: Antara Pasal dan Nurani
Di banyak fakultas hukum Indonesia, mahasiswa masih belajar KUHP dan UU secara tekstual. Mereka diuji lewat hafalan, bukan lewat simulasi kasus atau refleksi etis. Etika digital belum menjadi mata kuliah wajib.Â
Padahal, dunia hukum kini berhadapan dengan dilema baru: siapa yang bertanggung jawab jika AI membuat keputusan hukum? Apakah algoritma bisa menjadi subjek hukum?
Pendidikan hukum harus berani melampaui pasal. Ia harus mengajarkan keberanian untuk bertanya, kepekaan terhadap ketimpangan, dan kemampuan untuk berdialog lintas disiplin. Karena pengacara masa depan bukan hanya ahli hukum, tapi juga penjaga kemanusiaan di tengah sistem yang semakin otomatis.
Pendidikan Karakter: Formalitas atau Fondasi?
Tarifi menyarankan agar anak muda lebih fokus pada kesadaran emosional dan relasi antarmanusia. Tapi di Indonesia, pendidikan karakter sering kali diajarkan sebagai pelengkap, bukan inti.Â
Pendidikan karakter  menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri, terpisah dari matematika, sejarah, atau biologi. Padahal, karakter seharusnya menjadi benang merah yang menjahit semua pelajaran menjadi satu kain kehidupan.