Mengapa Warisan Kekhalifahan Tak Menjamin Kedekatan Spiritual?
Saya pernah berdiri di halaman Masjid Sultan Ahmed, Istanbul, saat azan berkumandang. Langit sore memantulkan cahaya ke biru kubah yang megah, dan suara muazin menggema di antara menara-menara yang menjulang. Tapi yang mengejutkan bukan kemegahan arsitektur, melainkan sepinya saf.Â
Hanya segelintir orang masuk ke dalam. Sebagian besar turis, sebagian lagi petugas. Tak ada gelombang jamaah seperti yang biasa saya lihat di masjid-masjid kampung Indonesia.
Kontras itu begitu mencolok ketika saya kembali ke tanah air. Di sebuah mushola kecil di pinggiran Bintaro, seorang tukang parkir tua datang lebih awal dari imam, duduk bersila di saf pertama, dan pulang terakhir setelah menggulung sajadah.Â
Tak ada sorotan kamera, tak ada pujian. Hanya rutinitas sunyi yang ia jalani dengan khusyuk.
Lalu saya menemukan data yang memperkuat intuisi itu. Menurut survei Pew Research Center, hanya sekitar tiga dari sepuluh Muslim Turki yang konsisten salat lima waktu.Â
Di Indonesia, angkanya lebih dari tujuh dari sepuluh. Bahkan survei lokal dari Avara Research menunjukkan bahwa hampir 73% Muslim Indonesia mengaku selalu atau sering salat lima waktu.Â
Sebuah angka yang mengejutkan, mengingat Indonesia bukan pusat kekhalifahan, bukan negara Islam, dan tak memiliki warisan arsitektur Islam yang sebanding dengan Turki.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Turki pernah menjadi jantung kekuasaan Islam dunia. Kekhalifahan Utsmani berdiri selama lebih dari enam abad, menguasai wilayah dari Balkan hingga Arab. Masjid-masjid megah dibangun, madrasah didirikan, dan hukum Islam menjadi bagian dari sistem negara.Â