Saya masih ingat betul masa-masa ketika MTV adalah jendela dunia. Di ruang tamu rumah, layar televisi menyala terang, menampilkan video musik dari rockstar global yang terasa begitu jauh namun akrab.Â
Dari Nirvana hingga Britney Spears, dari Linkin Park hingga Destiny's Child---semuanya hadir dalam satu saluran yang membuat saya, dan jutaan anak muda lainnya, merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar.Â
MTV bukan sekadar hiburan; ia adalah identitas, gaya hidup, bahkan semacam pelarian dari rutinitas.
Di Jakarta, di Bintaro, di Tanah Kusir, MTV menjadi teman sore dan malam. Kadang saya menonton sambil mencatat lirik, kadang hanya terdiam, membiarkan visual dan suara membentuk imajinasi. MTV menjual mimpi, dan saya membelinya dengan penuh gairah.
Namun waktu berjalan. MTV tetap mengudara, tapi saya sudah berpindah layar. Kini, saya lebih sering menonton video musik di YouTube, menemukan lagu baru lewat TikTok, atau mendengarkan playlist personal di Spotify.Â
Musik tak lagi datang dari label besar, tapi dari kamar tidur sempit di pinggiran kota, dari suara minoritas yang dulu tak terdengar. Dunia telah berganti panggung, dan saya ikut berpindah.
MTV, meski masih hidup secara teknis, terasa seperti rockstar tua yang tak sadar bahwa panggungnya telah kosong. Ia tetap menjual "cool" versi Barat, saat dunia sudah beralih ke "real" versi lokal.Â
Generasi sekarang tidak lagi mencari ikon global, mereka mencari cermin. Mereka ingin mendengar lagu dalam bahasa ibu, melihat wajah yang mirip mereka, dan merasakan keresahan yang mereka alami. MTV gagal memberi ruang untuk itu.
Di tengah kehampaan itu, saya menemukan musisi indie lokal yang membawa suara baru. Mereka tidak menunggu panggilan label. Mereka menciptakan panggung sendiri.Â
Efek Rumah Kaca menyuarakan keresahan sosial dan politik. Hindia menulis tentang mental health dan identitas. Fourtwnty mengajak kita masuk ke zona nyaman yang kontemplatif. The Panturas menghidupkan kembali surf-rock dengan gaya retro dan jenaka.Â
Mereka tidak sekadar membuat musik. Mereka membangun komunitas, menyembuhkan luka, dan menantang norma.
Media sosial menjadi alat revolusi. Lagu "To The Bone" oleh Pamungkas menembus pasar Asia bukan karena MTV, tapi karena algoritma dan resonansi emosional.Â
Musisi indie kini bisa membangun komunitas penggemar yang loyal, memasarkan karya secara mandiri, dan menampilkan identitas yang otentik. Mereka tidak lagi tunduk pada selera pasar, tapi membentuk pasar baru berdasarkan kejujuran dan kedekatan.
Jika MTV ingin bertahan, ia harus belajar dari musisi indie. Ia harus berani melepaskan nostalgia dan menjadi kurator budaya digital. Ia perlu membuka ruang bagi kreator lokal dan memberi mereka kendali naratif. Ia harus bertransformasi menjadi multiplatform yang interaktif dan cair, merayakan identitas hybrid dan spiritualitas generasi baru.Â
MTV bisa menjadi inkubator kreatif, bukan sekadar penyiar konten. Tapi itu hanya mungkin jika ia berani kehilangan kontrol demi relevansi.
Peradaban musik telah berganti panggung. Dari studio mewah ke kamar tidur, dari label besar ke komunitas daring, dari "cool" ke "real". Tapi satu hal tetap: suara yang jujur akan selalu menemukan pendengarnya. Peradaban musik telah berganti panggung. Dari studio mewah ke kamar tidur, dari label besar ke komunitas daring, dari "cool" ke "real". Tapi satu hal tetap: suara yang jujur akan selalu menemukan pendengarnya.Â
Musisi indie adalah bukti bahwa kejujuran, keberanian, dan kedekatan lebih kuat daripada algoritma. Dan MTV, jika ingin tetap hidup, harus berhenti menjadi ikon, dan mulai menjadi ruang.
Karena dalam dunia yang terus berubah, yang bertahan bukan yang paling besar---tapi yang paling mendengar.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI