Media sosial menjadi alat revolusi. Lagu "To The Bone" oleh Pamungkas menembus pasar Asia bukan karena MTV, tapi karena algoritma dan resonansi emosional.Â
Musisi indie kini bisa membangun komunitas penggemar yang loyal, memasarkan karya secara mandiri, dan menampilkan identitas yang otentik. Mereka tidak lagi tunduk pada selera pasar, tapi membentuk pasar baru berdasarkan kejujuran dan kedekatan.
Jika MTV ingin bertahan, ia harus belajar dari musisi indie. Ia harus berani melepaskan nostalgia dan menjadi kurator budaya digital. Ia perlu membuka ruang bagi kreator lokal dan memberi mereka kendali naratif. Ia harus bertransformasi menjadi multiplatform yang interaktif dan cair, merayakan identitas hybrid dan spiritualitas generasi baru.Â
MTV bisa menjadi inkubator kreatif, bukan sekadar penyiar konten. Tapi itu hanya mungkin jika ia berani kehilangan kontrol demi relevansi.
Peradaban musik telah berganti panggung. Dari studio mewah ke kamar tidur, dari label besar ke komunitas daring, dari "cool" ke "real". Tapi satu hal tetap: suara yang jujur akan selalu menemukan pendengarnya. Peradaban musik telah berganti panggung. Dari studio mewah ke kamar tidur, dari label besar ke komunitas daring, dari "cool" ke "real". Tapi satu hal tetap: suara yang jujur akan selalu menemukan pendengarnya.Â
Musisi indie adalah bukti bahwa kejujuran, keberanian, dan kedekatan lebih kuat daripada algoritma. Dan MTV, jika ingin tetap hidup, harus berhenti menjadi ikon, dan mulai menjadi ruang.
Karena dalam dunia yang terus berubah, yang bertahan bukan yang paling besar---tapi yang paling mendengar.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI