Kita sering mendengar istilah UMKM --- singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah --- sebagai satu kesatuan yang seolah-olah mewakili satu kelompok usaha seragam.Â
Pemerintah, media, bahkan para penulis di media sosial pun tak jarang menyebutnya tanpa memilah.Â
Padahal, menyamaratakan ketiganya seperti menyatukan awan dan tanah --- perbedaannya sangat jauh, bukan hanya dari segi skala, tapi juga dari kebutuhan, tantangan, dan pendekatan kebijakan yang tepat.
Mikro dan Menengah: Dunia yang Sangat Berbeda
Mari kita mulai dari sisi omzet. Menurut UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, pelaku Usaha Mikro memiliki omzet maksimal Rp300 juta per tahun. Itu berarti, jika dibagi per bulan, hanya sekitar Rp25 juta, atau bahkan kurang dari Rp850 ribu per hari. Ingat, ini bukan keuntungan, melainkan total penjualan.
Bandingkan dengan Usaha Menengah. Mereka bisa memiliki omzet hingga Rp50 miliar per tahun. Ya, miliaran rupiah. Ini bukan hanya beda skala, tapi beda dunia. Usaha Menengah bisa punya pabrik, sistem distribusi nasional, bahkan ekspor ke luar negeri. Sementara pelaku usaha mikro bisa jadi hanya ibu rumah tangga dengan gerobak kue basah, pedagang gorengan keliling, atau pemilik warung kecil di gang sempit.
Jadi bagaimana mungkin mereka disamakan? Jika pemerintah, media, dan publik terus memakai istilah "UMKM" tanpa penjelasan, maka risiko kebingungan publik dan salah sasaran kebijakan sangat tinggi.
Pengelompokan Resmi: Mikro, Kecil, dan Menengah
Secara hukum, pembagian usaha telah ditetapkan sebagai berikut:
- Usaha Mikro: Aset maksimal Rp50 juta, omzet maksimal Rp300 juta per tahun.
- Usaha Kecil: Aset lebih dari Rp50 juta sampai Rp500 juta, omzet Rp300 juta sampai Rp2,5 miliar.
- Usaha Menengah: Aset lebih dari Rp500 juta sampai Rp10 miliar, omzet Rp2,5 miliar sampai Rp50 miliar.
Perbedaan ini bukan sekadar angka. Ia mencerminkan kebutuhan, daya tahan, dan kompleksitas usaha dalam menghadapi risiko pasar, kemajuan teknologi, hingga kompetisi global.
Kementerian yang Membina pun Berbeda
Perbedaan skala ini juga tercermin dari siapa yang menjadi pembina utama masing-masing:
- Usaha Mikro dan Kecil dibina oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Fokus mereka adalah pendampingan dasar, pelatihan wirausaha, dan pemberdayaan masyarakat.
- Usaha Menengah, terutama yang sudah masuk manufaktur atau ekspor, lebih dekat dengan Kementerian Perindustrian atau Kementerian Perdagangan. Mereka masuk dalam klaster industri, bukan lagi sekadar pemberdayaan wirausaha kecil.
Pembiayaan: Segmen yang Berbeda di Mata Perbankan
Bank dan lembaga keuangan juga membedakan pendekatan mereka:
- Usaha Mikro, bank biasanya menyalurkan kredit melalui skema KUR Mikro atau pembiayaan ultra-mikro berbasis kelompok, dengan pendampingan intensif.
- Usaha Kecil mulai mendapat akses ke produk kredit komersial dengan plafon lebih tinggi, namun masih disertai subsidi atau jaminan pemerintah.
- Sedangkan Usaha Menengah sudah masuk ke dalam wilayah komersial banking, bahkan corporate banking dalam beberapa kasus, dan menjadi nasabah prioritas karena kapasitas bisnis yang besar.
Sebagai seseorang yang pernah berkarier di dunia perbankan, saya merasakan langsung perbedaan pendekatan dan perlakuan terhadap tiap segmen usaha ini. Mulai dari menjadi Account Officer yang mengelola Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Koperasi Program, pembiayaan konsumer, hingga pembiayaan korporasi di unit kerja yang berbeda, saya melihat bahwa kebutuhan, skala risiko, dan ekosistem bisnis tiap jenis usaha sangat spesifik. Menyamakan cara perlakuan terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah bukan hanya tidak adil, tapi juga berisiko: dapat memunculkan kegagalan dalam penyaluran pembiayaan, bias kebijakan, hingga tidak tercapainya tujuan pemberdayaan ekonomi.
Maka, menyatukan seluruh segmen ini dalam satu keranjang kebijakan dan pembahasan bisa menyebabkan oversimplifikasi dan mengaburkan target utama dari program pemerintah maupun lembaga keuangan.
Mengapa Harus Kita Pedulikan?
Karena cara kita menyebut sesuatu membentuk cara berpikir kita. Ketika kita menyebut "UMKM" tanpa membedakan, maka kita ikut melanggengkan ilusi bahwa semua pelaku usaha punya kebutuhan serupa. Padahal kenyataannya jauh berbeda.
- Usaha Mikro butuh pelatihan dasar, pendampingan manajemen sederhana, akses pasar lokal, dan perlindungan dari jeratan rentenir.
- Usaha Menengah justru membutuhkan efisiensi operasional, integrasi teknologi, insentif ekspor, serta kolaborasi dengan rantai pasok nasional dan global.
Pembedaan ini selain karena kebutuhan yang berbeda, juga menghindarkan tuntutan yang sama. Usaha mikro dan kecil rata-rata masih menjadi gantungan hidup langsung para pelakunya, sementara usaha menengah sudah bukan sekadar gantungan hidup lagi --- mereka telah menjadi bagian dari rantai ekonomi yang lebih luas dan terstruktur. Jangan sampai usaha mikro dan kecil dituntut hak dan kewajiban yang sama dengan pengusaha menengah, karena itu akan menciptakan beban yang tidak proporsional.
Refleksi Lapangan: Antara Pendamping UMK dan Advisor Perusahaan Menengah
Sebagai seseorang yang telah berpengalaman bekerja di dunia perbankan---mulai dari mengelola Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit koperasi program, pinjaman konsumsi, hingga pembiayaan korporasi---saya beruntung pernah terlibat langsung mendampingi berbagai pelaku usaha dari beragam segmen.Â
Dan saya ingin berbagi kisah visual yang merefleksikan secara nyata betapa berbedanya dunia usaha mikro-kecil dengan usaha menengah.
Dalam satu kesempatan, saya turut mendampingi para pelaku usaha mikro dan kecil mengikuti bazar produk lokal. Kami bahu-membahu mengangkat barang dagangan, menyusun produk di meja kecil, hingga ikut menjajakan langsung makanan dan camilan khas kepada pengunjung.Â
Tidak sedikit dari mereka yang membawa harapan besar hanya dengan modal kecil, namun dibekali semangat luar biasa. Di sinilah saya menyaksikan bahwa bagi mereka, usaha bukan sekadar bisnis---tetapi sumber penghidupan.
Sementara di kesempatan lain, saya hadir sebagai advisor bagi pelaku usaha menengah yang baru saja membuka kantor distribusi di sebuah kawasan niaga.Â
Mereka datang dengan truk kontainer, sistem logistik yang matang, dan kendaraan mewah yang menjadi penanda kapasitas usaha mereka yang telah berkembang pesat.Â
Fokus mereka sudah bukan lagi bertahan hidup, tapi memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi usaha.
Dua pengalaman ini menjadi pengingat nyata bahwa menyatukan seluruh segmen usaha ke dalam satu kebijakan, apalagi menuntut hak dan kewajiban yang sama, adalah tindakan yang tidak adil dan mengaburkan fokus pengembangan.Â
Usaha mikro dan kecil jelas memerlukan afirmasi dan perlakuan khusus, bukan sekadar disamakan secara administratif dengan mereka yang sudah tumbuh menjadi usaha menengah.
Penutup: Sudah Saatnya Kita Lebih Presisi
Sudah waktunya media, pembuat kebijakan, dan masyarakat mulai lebih presisi. Istilah "UMKM" memang praktis, tapi jika dipakai secara general tanpa klasifikasi, ia bisa menyesatkan. Bukan karena niat buruk, tapi karena kita abai bahwa awan dan tanah tak bisa disamakan.
Apalagi bagi penulis-penulis hebat di Kompasiana dan media lain yang memiliki ruang untuk membentuk opini publik --- sudah semestinya kita lebih jeli dan bertanggung jawab dalam mengangkat topik ini.Â
Ketika membahas satu segmen, jangan menyamaratakan ketiga entitas bisnis yang berbeda tersebut.Â
Memang, dalam beberapa hal Usaha Mikro dan Kecil masih relevan untuk disatukan karena kedekatan karakteristik dan tantangan dasarnya. Namun, Usaha Menengah adalah kelas tersendiri yang memiliki struktur, sumber daya, dan strategi yang jauh lebih kompleks.
Semoga tulisan ini membantu kita semua melihat lebih jernih, dan mendorong lahirnya kebijakan serta pemberitaan yang lebih tepat sasaran, berkeadilan, dan mencerahkan masyarakat.
Penulis: Merza Gamal
Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah | Praktisi Keuangan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI