Mengapa Ekosistem Startup Indonesia Masih Gagal Mempertahankan Inovasi Anak Negeri
Bayangkan sebuah padang yang subur. Di atasnya, banyak bibit ditanam: penuh harapan, penuh potensi. Hujan turun---membawa modal, mentari menyinari---munculnya ide-ide cemerlang, dan tak lama kemudian, tumbuhlah unicorn-unicorn gagah yang dielu-elukan publik.Â
Tapi tiba-tiba, satu per satu menghilang. Bukan mati. Mereka berpindah ladang.
Apa yang salah dengan tanah kita?
Bibit Tumbuh Cepat, Akar Tak Menghunjam
Indonesia dikenal sebagai ladang subur bagi startup. Lebih dari 2.500 startup aktif, didukung oleh pasar domestik raksasa dan generasi digital-savvy. Dalam kurun waktu singkat, muncul unicorn seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka---ikon inovasi anak negeri.
Namun, pertanyaan mendasarnya: mengapa begitu banyak dari mereka akhirnya berpindah kepemilikan, lokasi hukum, bahkan orientasi nasionalnya?
Jawaban sederhananya: kita hebat melahirkan, kurang piawai membesarkan.
Ketika Modal Datang dengan Tanda Bintang
Sebagian besar startup lokal bertumbuh dengan suntikan dana asing. Menurut data DSInnovate, lebih dari 70% pendanaan tahap awal hingga Series B di Indonesia berasal dari luar negeri.Â
Dari awal, kepemilikan dan arah strategisnya mulai "ditulis" dalam bahasa asing.
Investor lokal? Masih terlalu konservatif. Negara? Minim keberpihakan struktural. Maka tak heran jika begitu valuasi naik, opsi yang paling mudah adalah exit melalui akuisisi, merger, atau re-domicile ke negara dengan ekosistem yang lebih ramah.
Ekosistem Tanpa Payung Strategis