Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Unicorn Pergi ke Negeri Seberang, Startup Layu Sebelum Berkembang

1 Juli 2025   08:48 Diperbarui: 1 Juli 2025   08:48 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Starup layu sebelum berkembang, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI 

Mengapa Ekosistem Startup Indonesia Masih Gagal Mempertahankan Inovasi Anak Negeri

Bayangkan sebuah padang yang subur. Di atasnya, banyak bibit ditanam: penuh harapan, penuh potensi. Hujan turun---membawa modal, mentari menyinari---munculnya ide-ide cemerlang, dan tak lama kemudian, tumbuhlah unicorn-unicorn gagah yang dielu-elukan publik. 

Tapi tiba-tiba, satu per satu menghilang. Bukan mati. Mereka berpindah ladang.

Apa yang salah dengan tanah kita?

Bibit Tumbuh Cepat, Akar Tak Menghunjam

Indonesia dikenal sebagai ladang subur bagi startup. Lebih dari 2.500 startup aktif, didukung oleh pasar domestik raksasa dan generasi digital-savvy. Dalam kurun waktu singkat, muncul unicorn seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka---ikon inovasi anak negeri.

Namun, pertanyaan mendasarnya: mengapa begitu banyak dari mereka akhirnya berpindah kepemilikan, lokasi hukum, bahkan orientasi nasionalnya?

Jawaban sederhananya: kita hebat melahirkan, kurang piawai membesarkan.

Ketika Modal Datang dengan Tanda Bintang

Sebagian besar startup lokal bertumbuh dengan suntikan dana asing. Menurut data DSInnovate, lebih dari 70% pendanaan tahap awal hingga Series B di Indonesia berasal dari luar negeri. 

Dari awal, kepemilikan dan arah strategisnya mulai "ditulis" dalam bahasa asing.

Investor lokal? Masih terlalu konservatif. Negara? Minim keberpihakan struktural. Maka tak heran jika begitu valuasi naik, opsi yang paling mudah adalah exit melalui akuisisi, merger, atau re-domicile ke negara dengan ekosistem yang lebih ramah.

Ekosistem Tanpa Payung Strategis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun