Terkadang kita terjebak dalam niat baik yang terlalu menyamaratakan. Dalam hal kebijakan pembinaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), misalnya, ketiganya sering diperlakukan sebagai satu entitas yang homogen.
Padahal, dari sisi kapasitas usaha, skala omzet, kemampuan pengelolaan, hingga pendekatan terhadap tenaga kerja, ketiganya sangat berbeda.
Di dunia perbankan dan pembiayaan, pengelompokan UMKM sebenarnya sudah dibedakan secara teknis. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 menjelaskan secara gamblang:
- Usaha Mikro: omzet tahunan maksimal Rp300 juta, atau sekitar Rp25 juta per bulan, dengan aset maksimal Rp50 juta.
- Usaha Kecil: omzet tahunan antara Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar.
- Usaha Menengah: omzet tahunan bisa mencapai hingga Rp50 miliar, dengan aset hingga Rp10 miliar.
Perbedaan ini sangat signifikan. Bayangkan, usaha mikro hanya beromzet Rp25 juta sebulan, sementara yang menengah bisa menyentuh Rp50 miliar per tahun---bagai berpijak di bumi dan melayang di atas awan.Perbedaan ini sangat signifikan. Bayangkan, usaha mikro hanya beromzet Rp25 juta sebulan, sementara yang menengah bisa menyentuh Rp50 miliar per tahun---bagai berpijak di bumi dan melayang di atas awan.
Namun, dalam praktik kebijakan, ketiganya sering digabungkan menjadi satu entitas "UMKM," seolah-olah mereka memiliki kebutuhan dan kapasitas yang sama. Akibatnya, banyak program pembinaan menjadi tidak tepat sasaran dan justru menciptakan kesenjangan.
Padahal, yang satu butuh booth di bazar kelurahan, sementara yang lain sedang ekspansi ekspor kontainer ke Eropa.
KUR untuk Mikro, Kredit Investasi untuk Menengah
Dalam praktik pembiayaan, pembedaan ini sudah cukup jelas.
- Usaha Mikro dan Kecil umumnya menjadi target Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang menawarkan bunga subsidi, agunan ringan, serta pendampingan.
- Usaha Menengah sudah masuk ke ranah SME banking, mendapatkan pembiayaan komersial, dan sering mengakses kredit investasi.
Sayangnya, dalam perancangan kebijakan, ketiganya sering disamaratakan. Seolah-olah pelaku mikro dan menengah menghadapi masalah yang sama.
Padahal, yang satu sedang mencari modal kerja harian, sedangkan yang lain tengah menghadapi tantangan restrukturisasi korporasi.
Sistem Penggajian? Tentu Beda Dunia
Sistem penggajian mencerminkan tingkat kematangan tata kelola usaha. Perbedaan ini sangat nyata di lapangan.
Saya pernah mengisi pelatihan di Subang dan bertemu Bu Santi, pelaku usaha mikro produsen keripik tempe rumahan. Saat ditanya berapa gaji karyawannya, ia tertawa,
"Lihat saja dari hasil harian, Pak. Kalau ramai, kami bagi rata. Kalau sepi, ya cukup-cukupin."