Pagi itu saya menyimak kembali artikel reflektif yang telah saya unggah sehari sebelumnya: "Ketika Carport Lebih Luas dari Rumah". Sebuah tulisan yang lahir dari keresahan melihat fenomena rumah subsidi yang semakin sempit, bahkan kadang terasa seperti mengurung mimpi keluarga muda di dalam dinding tipis semangat bertahan hidup.
Tak saya duga, tulisan itu memantik reaksi beragam. Bukan hanya dari rekan-rekan sesama penulis, tapi juga dari pembaca yang diam-diam menyimpan kegelisahan serupa.Â
Komentar-komentar mereka tidak saya anggap sebagai pelengkap, melainkan sebagai nyawa lanjutan dari cerita yang belum selesai.
Ketika Rumah Bukan Lagi Tempat Pulang yang Layak
Kompasianer senior, Pakde Budi Susilo menuliskan, "Sudah waktunya pemerintah memikirkan solusi perumahan yang layak huni, bukan sekadar bikin rumah subsidi yang jauh dari tempat kerja." Sebuah kalimat singkat yang sarat makna. Rumah memang bukan sekadar bangunan. Rumah adalah harapan, tempat memulai keluarga, membesarkan anak, dan menua dengan damai. Namun, ketika rumah disubsidikan terlalu jauh dari pusat pekerjaan, akarnya tak lagi kuat. Hidup pun seperti terpotong antara tempat tinggal dan tempat mencari nafkah.
Komentar lain datang dari Paktuo Irwan Rinaldi Sikumbang, mengangkat soal bank tanah---sebuah solusi ideal yang belum juga berjalan optimal. Padahal, jika lahan bisa dikelola negara dan diberikan kepada pengembang dengan konsep keadilan spasial, harga rumah tak perlu mencekik. Tapi sepertinya ide itu masih sebatas wacana di rak-rak kebijakan.
18/25: Ketika Rumah Kian Menciut
Yang menyentak adalah fakta terbaru: ukuran rumah bersubsidi kini bukan lagi 36 meter persegi. Di sejumlah proyek, turun menjadi 18/25. Sebuah "rumah" seluas 18 m di atas tanah 25 m. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah keluarga kecil bisa tumbuh sehat dan bahagia dalam ruang sesempit itu.
Seorang pembaca bernama Caryanah Abay bahkan menyindirnya dengan jenaka, "Seperti hunian lansia di Hong Kong---dalam satu kedipan semua ruangan terlihat." Lalu ia menambahkan bahwa rusun sederhana dengan dua kamar dan ruang hidup yang manusiawi bisa jadi solusi yang lebih masuk akal.
Apakah kita sedang menyederhanakan mimpi anak muda---hingga ukuran rumahnya pun ikut diperkecil?
Harapan Itu Sempat Bernama IKN
Alfred Benediktus mengangkat gagasan menarik: "Mungkin di IKN bisa menerapkan solusi hunian yang lebih adil dan terjangkau bagi generasi muda." Saya membayangkan kota baru itu bukan hanya jadi simbol administratif, tetapi juga ruang eksperimental sosial---di mana generasi muda bisa memiliki rumah bukan karena warisan, tapi karena kebijakan yang berpihak.
Namun pertanyaannya menohok: "Apakah para pemangku kepentingan membaca tulisan-tulisan kita di Kompasiana?" Saya pun hanya bisa tersenyum getir. Tapi saya percaya, suara-suara kecil yang terus menulis, bisa menjadi gema besar jika tak pernah lelah.
Masalah yang Lintas Sektor, Solusi yang Terintegrasi
Reinhard Hutabarat mengingatkan bahwa solusi perumahan tak bisa dilihat dari satu sisi saja. "Harus lintas sektoral, menyangkut pajak, BPN, perbankan, PLN, dan PUPR." Harga rumah yang melonjak seringkali bukan karena bahan bangunan, tapi karena sistem yang terlalu banyak simpul dan terlalu sedikit sinergi.