Jatuh Tersungkur, Tapi Tak Menyerah: Ketika Kebangkrutan Justru Menjadi Titik Awal Kesuksesan
Pagi yang sibuk di Bangkok. Di tengah riuhnya kota yang tak pernah tidur, tampak seorang pria paruh baya dengan troli sederhana berisi roti lapis. Ia menyapa para pejalan kaki dengan sopan, menawarkan roti buatan sendiri. Tak banyak yang tahu, pria itu dulunya seorang miliarder.
Namanya Sirivat Voravetvuthikun. Sebelum krisis moneter Asia melanda pada 1997, ia adalah pengusaha sukses di bidang properti dan investasi.Â
Namun, badai ekonomi menggulung habis bisnisnya. Ia bangkrut. Aset hilang. Nama baik tergerus. Tapi Sirivat tidak mengutuk nasib. Ia memilih bangkit, bukan dengan dana miliaran, tapi dengan menjual roti di pinggir jalan.
Banyak orang mencibir. Mantan taipan kini mendorong gerobak. Tapi ia bertahan. Hari demi hari, Sirivat menguleni adonan, menyusun roti, dan menata harapan. Ia ingin menunjukkan bahwa kehormatan tak ditentukan oleh status sosial, melainkan oleh kemampuan seseorang menghadapi keterpurukan dan tak menyerah.
Sirivat bukan satu-satunya. Sejarah penuh dengan kisah orang-orang yang jatuh terpuruk, bahkan bangkrut secara finansial, namun berhasil membalik keadaan dan menulis ulang takdir mereka dengan tinta keberanian.
Walt Disney, misalnya. Di masa mudanya, ia mendirikan sebuah studio kecil bernama Laugh-O-Gram. Studio itu bangkrut. Disney hidup terlunta-lunta dan nyaris menyerah. Namun ia membawa serta imajinasinya ke Hollywood. Di sanalah lahir Mickey Mouse, yang kemudian menjelma menjadi ikon global. Dari seorang pemuda yang gagal, Walt Disney berubah menjadi pendiri kerajaan hiburan dunia yang kita kenal sekarang.
Lain lagi dengan kisah Colonel Harland Sanders. Setelah pensiun di usia 65 tahun, ia bangkrut karena restorannya tutup. Tapi Sanders punya satu hal yang tak pernah pudar: resep ayam goreng legendaris. Ia mengetuk pintu demi pintu, menawari waralaba ayam goreng buatannya, dan ditolak lebih dari seribu kali. Namun ia terus melangkah. Akhirnya, waralaba Kentucky Fried Chicken lahir, menyebar ke seluruh dunia, menjadikannya ikon kuliner yang dikenang lintas generasi.
Di Indonesia, kisah inspiratif datang dari Sandiaga Uno. Saat krisis ekonomi 1998, ia kehilangan pekerjaannya dan usahanya bangkrut. Namun ia tidak tinggal diam. Dari keterpurukan itu, ia bangkit dan membangun perusahaan investasi Saratoga bersama rekannya. Kini, perusahaan tersebut menjadi salah satu yang paling disegani di Indonesia, membuktikan bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan pelajaran.
Donald Trump, meskipun penuh kontroversi, juga mencatat sejarah sebagai sosok yang berulang kali menghadapi kebangkrutan. Ia pernah mengalami kegagalan besar di industri kasino dan properti. Namun ia menggunakan sistem kebangkrutan bukan sebagai penutup, tetapi sebagai strategi negosiasi ulang utang dan pembenahan struktur bisnis. Ia membuktikan bahwa jatuh bukan berarti tamat, asalkan seseorang tahu cara berdiri kembali.
Apa yang membuat mereka berbeda dari kebanyakan orang yang menyerah pada kegagalan?Â
Mungkin jawabannya adalah keberanian untuk memulai ulang. Keberanian untuk menanggalkan gengsi. Dan keyakinan bahwa nilai seseorang tak diukur dari berapa kali ia jatuh, melainkan dari seberapa kuat ia bangkit.
Kebangkrutan bukan hanya soal angka di neraca keuangan. Ia adalah luka, rasa malu, dan sering kali, kehilangan harga diri. Tapi jika dilihat dari sisi lain, ia juga adalah ruang kosong yang siap diisi kembali---dengan kerja keras, ketekunan, dan harapan baru.
Sirivat memilih untuk tidak tinggal dalam bayang-bayang masa lalu. Ia memilih bangkit, walau harus dari jalanan. Ia tidak menunggu kesempatan datang, tapi menciptakannya. Dari roti-roti sederhana yang ia jual, lahir kisah luar biasa tentang harga diri, keberanian, dan makna sejati dari kesuksesan.
Kita mungkin tidak pernah menjadi miliarder, tapi kita semua pasti pernah jatuh. Maka kisah mereka seharusnya bukan hanya jadi bacaan inspiratif, melainkan cermin: bahwa bangkit selalu mungkin, selama kita belum menyerah.
Karena pada akhirnya, sukses bukan soal seberapa tinggi kita pernah terbang, melainkan seberapa jauh kita mampu berjalan kembali setelah terhempas jatuh.
Oleh: Merza Gamal
Pensiunan Gaul Banyak Acara | Konsultan Transformasi Corporate CultureÂ
Terus Semangat!!!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI