Malam berikutnya, mimpi yang sama datang lagi. Kali ini, Rofiq menunduk. Matanya sayu. Suaranya serak:
"Hadi... lunaskan... tolong aku..."
Esoknya, aku mengambil keputusan. Aku jual motorku, sebagian barang dagangan, bahkan menukar beberapa logam mulia yang kupunya. Terkumpul 78 juta rupiah. Cukup untuk melunasi utang sahabatku.
Aku mengendarai mobil bak pinjaman ke Demak. Agen beras itu, Pak Burhan, awalnya terkejut.
"Masya Allah, demi almarhum sahabatmu? Padahal kamu tidak wajib menanggungnya..."
Aku hanya menjawab lirih, "Saya takut ia tersiksa di alam kubur."
Pak Burhan menunduk. Lalu ia berkata, "Saya ikhlaskan 20 juta-nya. Dan kalau kamu butuh pasokan, katakan saja. Tidak usah DP."
Beberapa minggu kemudian, sebuah truk kecil berhenti di depan tokoku. Seorang pemuda membawa nota dan berkata, "Ini dari Ayah saya, Pak Imam. Katanya, dulu almarhum Pak Rofiq pernah bantu kami waktu usaha kami hampir bangkrut. Ini barang dagangan untuk Bapak. Bayar kalau sudah laku. Kalau tidak, kirim balik saja."
Aku tak kuasa menahan air mata.
Hari-hari berikutnya penuh berkah. Daganganku laris, pelanggan datang silih berganti. Aku bisa membeli motor baru, mengganti stok, bahkan membuka cabang kecil di pasar baru. Semua seolah mengalir dari langit.
Ramadan berikutnya, aku menyalurkan zakat sebesar 45 juta rupiah. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Satu malam, selepas tarawih, aku duduk di serambi masjid, menatap langit dan mengenang Rofiq.