Dulu, nama saya kerap dituliskan dengan spidol hitam di gelas kertas Starbucks. Dari Berlin hingga Mekkah, saya pernah menyesap kopi sambil membawa aroma globalisasi yang terbungkus dalam sajian premium. Ada gengsi yang tak bisa dipungkiri. Namun, dunia berubah---dan demikian pula dengan kebiasaan, selera, dan peta persaingan raksasa kopi dunia.
Hari ini, aroma kopi tak lagi didominasi oleh satu nama besar. Di sudut-sudut kota besar Amerika, bintang hijau mulai redup, dan seekor rusa biru mulai menggeliat. Logo Luckin Coffee kini terpampang di dua lokasi strategis New York City: di 755 Broadway dan 800 6th Avenue, menandakan babak baru yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh Starbucks sebelumnya---kompetisi di kandang sendiri.
Raksasa Terpeleset di Tangga Sendiri
Kabar terbaru menyebutkan, Starbucks harus melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 1.100 karyawan korporatnya, seiring dengan penurunan penjualan dan gejolak operasional global. Sejumlah gerai di Indonesia juga dikabarkan tutup secara bertahap. Ini bukan hanya angka.Â
Ini adalah sinyal bahwa dominasi tak selalu abadi, bahkan untuk ikon seperti Starbucks.
Padahal, saat Luckin Coffee pertama kali hadir di pasar kopi Tiongkok pada 2017, banyak yang menganggapnya bukan tandingan serius. Siapa sangka, dalam waktu singkat, Luckin berkembang pesat, melampaui Starbucks di pasar asalnya dengan lebih dari 22.000 gerai. Bahkan, laporan tahun 2023 menyebutkan bahwa Luckin resmi menjadi jaringan kopi terbesar di Tiongkok.
Kunci kesuksesan mereka? Harga bersahabat, efisiensi teknologi pemesanan, dan yang mengejutkan: kualitas kopi yang mampu bersaing---bahkan setara dengan Starbucks.
Kopi Nusantara di Tengah Perebutan Takhta
Sementara dua raksasa global bersaing, sebuah peluang emas justru terbuka untuk kita: Indonesia.
Negeri ini tidak sekadar penghasil kopi. Kita adalah rumah bagi single origin coffee terbaik dunia: Gayo dari Aceh, Toraja dari Sulawesi Selatan, Bajawa dari Flores, Java Arabica, hingga kopi Wamena dari Papua.Â
Ironisnya, kopi-kopi ini kerap dijumpai di hotel bintang lima dunia, diaduk oleh barista internasional, tapi kurang dielu-elukan di negeri sendiri.
Bahkan, tak jarang para penikmat kopi di Indonesia baru menyadari kualitas kopi Nusantara setelah membaca label "Sumatra Blend" di secangkir cappuccino dari kafe asing.