Indonesia, sebagai bagian dari ekosistem global, tentu ikut terdampak. Permintaan ekspor melemah, investasi tertahan, dan nilai tukar rupiah menjadi lebih rentan. Semua ini menyulitkan ruang fiskal dan menguji daya tahan industri dalam negeri.
Konsumsi Menurun, Daya Beli Tertekan
Salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini adalah konsumsi rumah tangga. Namun dalam situasi seperti sekarang, konsumsi masyarakat ikut melambat.
Laporan BI menunjukkan bahwa keyakinan konsumen dari kelompok pengeluaran Rp 1--2 juta menurun. Ini bukan sinyal yang bisa dianggap sepele.Â
Bila kelas bawah mulai menahan belanja karena tekanan harga atau ketidakpastian pendapatan, maka multiplier effect-nya akan menjalar ke berbagai sektor.
Padahal, lapangan kerja belum benar-benar pulih pasca pandemi, dan kini kembali diuji oleh kondisi ekonomi yang melambat. Meskipun Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) naik menjadi 101,6, itu pun didorong oleh persepsi positif dari kalangan berpendidikan tinggi, bukan dari kelas pekerja biasa.
Apakah Kita Menuju Resesi?
Pertanyaan paling mendasar tentu saja: Apakah ekonomi Indonesia menuju resesi? Jawabannya tidak bisa dijawab sekadar dengan "ya" atau "tidak".
Dari sisi teknis, resesi didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi negatif dua kuartal berturut-turut. Kita belum sampai ke situ. Namun bila tren pelemahan terus berlanjut tanpa intervensi yang tepat, maka potensi itu terbuka.
Kita juga harus memahami bahwa krisis ekonomi tidak selalu datang dalam bentuk kejatuhan tiba-tiba. Ia bisa datang pelan-pelan, lewat menurunnya daya beli, meningkatnya pengangguran terselubung, dan naiknya utang rumah tangga.
Inilah yang diamati oleh banyak ekonom saat ini. Lesunya pertumbuhan, turunnya optimisme konsumen, dan ketidakpastian global membentuk kombinasi yang harus segera ditangani dengan langkah-langkah konkret.
Harapan Masih Ada di Era Baru